"I just wanna be counting stars with you." — Tom Rosenthal, Hugging You
KAMI berteduh di depan toko yang sudah tutup ketika pulang dari rumah sakit karena hujan deras tiba-tiba mengguyur kota Bandar Lampung secara keroyokan. Farhan nggak bawa mantel hujan, jadi kami terpaksa berhenti. Aku bilang kami harus menerobos hujan ini, tapi Farhan menolak. Dia nggak mau ngajak aku hujan-hujanan karena katanya nanti aku bisa sakit lagi. Dan dia nggak mau lagi melihatku sakit, bahkan hanya untuk satu hari pun. Aku nggak bisa membantah kepeduliannya, karena sesungguhnya aku juga khawatir karena kondisi kesehatanku masih terlalu rentan pascasakit kemarin.
"Seharusnya aku bawa mobil!" Farhan menggeram jengkel pada dirinya sendiri.
Aku menenangkannya dengan mengusap bahunya dan berkata, "Nggak apa-apa, Farhan. Kita kan nggak tahu bakal turun hujan."
"Maaf ya, Din." Penyesalan terdengar dalam suaranya. "Kamu nggak kedinginan, kan?"
Aku menggeleng. "Kan udah pakai jaket," kataku, tersenyum.
Betul. Aku sudah pakai jaket. Dan ini bukan jaketku. Tapi jaket Farhan. Ketika Farhan memakaikan jaketnya ke tubuhku, aku nggak bisa menolak karena dia memaksa. Farhan bilang dia nggak mau aku kedinginan. Lalu, saat aku bertanya, "Kamu gimana?"
Dia menjawab, "Nggak apa-apa. Yang terpenting buatku adalah kamu."
Oh ya ampun, kalau sudah diperlakukan semanis ini oleh Farhan, rasanya aku ingin langsung mencium bibir dan membuka bajunya. Apalagi hujan begini, dingin, dan pasti rasanya enak kalau aku dan Farhan pelukan sambil nggak pakai baju. Ya ampun, stop berpikiran mesum, Dino! Nanti kesamber petir, baru tahu rasa lo! Aku meneriaki diriku sendiri.
Kami menunggu hujan berhenti selama kurang lebih setengah jam. Farhan memelukku ketika kami menunggu, dan untungnya di depan toko yang sudah tutup ini cuma ada kami berdua. Jadi, Farhan tetap bisa hangat walaupun nggak pakai jaket.
"Kalau ujan kayak gini, aku jadi ingat waktu Kemah Bersama," kata Farhan.
Aku tersenyum ketika dia mengucapkannya. "Ya. Waktu itu aku kedinginan banget. Dan walaupun udah pakai minyak kayu putih, tetap aja aku kedinginan."
"Aku juga. Waktu itu aku pingin banget peluk kamu, tapi aku takut kamu bakal marah dipeluk tanpa izin," katanya. Pelukannya di tubuhku makin erat. "Sekarang, aku bahkan nggak perlu izin lagi untuk peluk tubuh kamu."
Aku tersenyum lebih lebar karena manis dan getir rasanya mengingat kenangan bersama Farhan di pos ronda waktu Kemah Bersama itu.
Selepas hujan berubah jadi gerimis, kami langsung bergegas pergi. Farhan masih kekeuh maksa aku memakai jaketnya, walaupun aku sudah bersikeras ingin mengembalikan padanya. Alhasil, Farhan bawa motor tanpa jaket, sementara aku duduk di boncengannya, memeluknya erat-erat.
Kami sampai di rumahku sepuluh menit kemudian. Farhan memasukkan motornya ke garasi. Aku melepas jaket Farhan, dan Farhan juga melepas kemeja OSIS-nya yang basah kuyup.
"Tunggu sebentar, aku ambilin handuk," kataku, buru-buru masuk ke dapur dan mengambil handuk kering di gantungan besi. Aku segera menyelimuti Farhan dengan handuk itu, dan Farhan menggigil sambil tersenyum terima kasih. "Yuk, masuk. Kamu harus mandi," kataku dan membawanya masuk ke dalam rumah.
Tapi, saat melintasi ruang keluarga, aku bertemu dengan Mama, Papa, dan Dea yang sedang duduk di depan tivi yang menyala. Mata Mama nggak fokus ke tivi, tapi tampak sedang memandang jauh ke hal lain. Papa memijat keningnya menggunakan dua jari, sementara Dea tampak gelisah dalam duduknya. Ini pemandangan yang nggak biasa. Apa yang terjadi pada keluargaku?
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu & Aku #3
JugendliteraturDino berusaha memperbaiki pertemanannya dengan Egy, yang ternyata susahnya minta ampun. Tapi untungnya dia nggak sendirian. Ada Bastian, Bimo, dan juga Farhan yang membantunya. Dan di rumah, keluarganya mulai mencurigai hubungannya dengan Farhan.