Tiga Puluh Delapan

267 24 0
                                    

"I don't even know you. You're just someone new I don't want to talk to." — The Vaccines, Wolf Pack


BACK to school.

Bukannya semangat karena akan duduk di kelas dan suasana baru, tapi aku malah cemberut. Aku bisa memberikan seribu alasan kenapa aku nggak semangat masuk sekolah hari ini, tapi hanya tiga alasan paling utama saja yang akan kuberitahukan pada kalian.

Pertama, karena ketika menjejakkan kaki di sekolah, aku menyadari bahwa Farhan sudah nggak ada di sini lagi, bahwa aku nggak akan bisa mampir ke kelasnya sebentar sebelum masuk ke kelasku sendiri. Nggak ada lagi momen yang bisa kubangun bersama Farhan di sekolah ini. Yang tersisa sekarang hanyalah kenangan tentang Farhan yang terasa nyata setiap kali aku memandang ke beberapa tempat yang pernah menjadi saksi bisu kebersamaan kami dulu.

Kedua, karena Dea dengan sialnya diterima di sekolah ini. Aku menggerutu kesal mendengar kabar darinya bahwa ketika membaca pengumuman hasil penerimaan siswa baru namanya muncul di SMA 10, tempatku bersekolah. Dea semangat sekali karena bisa satu sekolah denganku, tapi aku nggak bisa sesemangat dia karena nggak bisa kubayangkan akan jadi seperti apa hari-hariku di sekolah kalau ada Dea. Bisa saja nanti ketika aku membuat kesalahan kecil di sekolah yang berniat aku tutupi dari orangtuaku, Dea malah membongkarnya. Bisa saja nanti ketika diam-diam aku kabur dari kelas dan makan di kantin, kemudian Dea memergokiku, lalu dia memberitahukan itu ke Mama. Pokoknya segala kemungkinan terburuk tentang Dea yang akan mengadukan semua perbuatan burukku di sekolah berhasil membuatku malas untuk berangkat sekolah.

Terakhir, alasan yang ketiga, karena tahun ini aku ditunjuk lagi untuk jadi panitia MOS! Aku sudah menolak penunjukan yang seenak jidat Ketua OSIS-nya itu, tetapi penolakanku nggak ada gunanya begitu guru yang memegang jabatan Kepala Bidang Kesiswaan turun tangan dan memaksaku untuk ikut berpartisipasi sebagai panitia MOS. Aku menggerutu jengkel dan berkata dengan kesal bahwa aku mau jadi panitia MOS asalkan Bimo juga harus mau, karena aku nggak mau jadi panitia MOS sendirian tanpa sahabatku. Lalu mereka memaksa Bimo juga, dan akhirnya kami terjebak lagi dalam tiga hari MOS paling membosankan.

Jadi panitia MOS ini mengingatkanku pada tahun lalu ketika pertama kali aku bertemu Lendra di hari pertama MOS. Ini membuatku meringis karena kangen, dan juga khawatir aku bakal naksir calon siswa baru tahun ini. Tapi aku sudah sepakat pada diri sendiri bahwa aku nggak boleh terpengaruh oleh siswa baru yang wajahnya ganteng dan imut, karena aku harus ingat dengan Farhan. Aku sudah punya Farhan, jadi nggak boleh naksir dengan orang lain.

"Kak, nanti kalau kakak kelas yang nge-MOS aku orangnya galak, tolong Kakak bilangin ke dia ya, jangan galak-galak ke aku," kata Dea setelah dia turun dari motorku. Ini salah satu alasan lain kenapa aku nggak suka Dea satu sekolah denganku: dia harus berangkat sekolah bareng aku. Memang nggak terlalu masalah, sih. Tapi tetap saja aku nggak bisa sebebas dulu. Satu lagi kebebasan yang direnggut paksa dariku setelah Farhan.

"Aku nggak janji," kataku, melepas helm dan meletakkannya di spion. "Namanya juga MOS. Kalau kakak kelasnya galak, artinya bukan galak, tapi tegas."

Dea cemberut karena aku nggak mengindahkan permintaannya. "Tapi nanti siang Kakak temenin aku makan siang, ya?"

"Males ah. Kamu kan udah gede, makan siang aja sendiri."

Dea makin cemberut. "Ih, masa gitu sih? Padahal ada temen aku yang mau ketemu sama Kakak."

Aku mengerutkan kening. "Siapa?"

"Ada deh. Rahasia. Kalau mau tahu, nanti siang temenin aku makan di kantin. Ajak Kak Bimo juga nggak apa-apa."

Aku nggak penasaran, kok. Aku malah nggak peduli dengan temannya itu. Tapi aku tetap mengangguk mengiyakan permintaannya, karena nggak ada salahnya juga menemani adik semata wayangku makan siang di kantin pada hari pertamanya di sekolah.

Kamu & Aku #3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang