Lima Puluh

219 11 0
                                    

"When shit don't go your way, you needed me to fix it." — Tate McRae, You Broke Me First


BELUM ada semenit dihidupkan, iPhone-ku sudah banjir notifikasi. Kebanyakan pesan WhatsApp dari Farhan dan panggilan tak terjawab darinya. Dia mengkhawatirkanku. Benar-benar khawatir sampai-sampai pesan WhatsApp-nya yang bejibun nyaris membuat hapeku ngelag.

Pesan terakhir yang sempat kubaca di notificatin bar adalah:

Km kmn Dino? Aku khawatir. Kata Junet kamu udh dtg ke skolhku, udh ke lapangan, tp knp aku nggak liat kamu? Please jawab Din, jangan bikin aku cemas kayak gini. Aku sayang kamu.

Oh ya ampun, aku mati-matian menahan diri supaya nggak tergoda untuk mengkonfrontasinya. Biarin aja Farhan menjalani hari-harinya dengan beranggapan aku nggak tahu tentang pelukannya dengan Mitha. Biar dia mikir sendiri kesalahannya apa. Kalau aku bertingkah kayak anak kecil, ya bodo amat. Emangnya salah kalau aku ngambek gara-gara dia nggak bisa memegang janji yang sudah dibuatnya sendiri?

Mengabaikannya, aku langsung mandi, siap-siap berangkat sekolah tanpa harus memikirkan Farhan, tanpa harus memandangi cermin karena aku tahu mataku pasti sembap sehabis nangis.

Tadi malam Mama atau Papa, atau bahkan Dea nggak ada yang memanggilku untuk makan malam. Tapi nggak apa-apa, karena aku langsung tidur nggak lama setelah kumatikan hape dan menangisi nasibku yang malang karena pacar kesayanganku yang ganteng diserobot oleh cewek busuk yang pura-pura baik di depanku waktu aku berkunjung ke rumahnya. Aku masih ingin marah ke Mitha, ke Farhan, tapi nggak tahu gimana caranya.

Aku agak berlama-lama mandi di bawah air pancuran sambil menggosoki seluruh tubuh dengan sabun. Mendadak, aku rindu rasanya mandi bareng Farhan. Memang sih aku baru sekali mandi bareng dia, tapi sensasi guyuran air yang membasahi tubuh, dan kelamin Farhan yang mengentak-entak di dalam lubangku nggak akan pernah bisa kulupakan. Kenangan itu akan selalu melekat seperti permen karet di rambut—atau di celana, terserah kalian lebih suka yang mana.

Setelah mandi dan selesai siap-siap, aku langsung turun ke bawah untuk sarapan. Biasanya habis mandi aku langsung merasa segar dan wajahku akan cerah seperti matahari pagi. Tapi pagi ini aku merasa nggak semangat, dan wajahku sesuram mendung yang menutupi cahaya matahari pagi.

"Kamu nggak apa-apa, Dino?" tanya Mama, cemas.

Aku mengangkat wajah, menatapnya sedih. Aku ingin sekali memeluk Mama, merasakan hangat peluknya yang selalu bisa membuatku merasa aman. Tapi situasinya sekarang kan aku masih marahan sama dia. "Nggak apa-apa, kok." Berusaha tersenyum, tapi kok susah, ya?

Selesai sarapan aku bergegas ke garasi tanpa menunggu Dea. Dan ternyata adikku itu berangkat sekolah bareng Bimo, sehingga tanpa butuh penjelasan lebih banyak aku langsung tancap gas ke sekolah. Aku malas ada di rumah ini dengan aura permusuhan yang masih menggantung di udara.

Di sekolah, suasana hatiku agak sedikit membaik karena guru yang mengajar di jam pertama dan kedua nggak hadir. Nggak ada guru pengganti yang masuk, jadi selama 90 menit itu aku habiskan dengan ngobrol sama Bimo yang langsung menangkap perubahan yang sangat kentara di mata dan juga tingkahku yang kayak zombie.

"Gara-gara orangtua lo, ya?" tebaknya, memandangiku.

Aku menggeleng. "Gara-gara Farhan."

"Hah? Farhan? Baru kali ini gue lihat lo cemberut gara-gara tuh cowok. Biasanya ceria."

"Gara-gara Mitha juga," tambahku sambil menjatuhkan kepala ke meja. "Gue benci perempuan busuk itu!"

"Siapa Mitha?"

"Perempuan nggak tahu malu," jawabku.

"Dia selingkuhannya Farhan?"

Aku mengangguk, pedih. Farhan selingkuh. Ya Tuhan, menyebutnya saja membuat lidahku panas dan sakit.

Kamu & Aku #3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang