"What if I was made for you, and you were made for me." — Kane Brown feat. Lauren Alaina, What Ifs
PERNAH dulu waktu SMP ketika Ujian Nasional aku merasa sangat gugup dan khawatir karena masa depanku akan ditentukan oleh jawaban-jawabanku pada selembar kertas ujian yang tipis. Sekarang, aku merasakan kegugupan dan kekhawatiran yang sama seperti itu ketika akan menghadapi orangtuaku. Apa pun jawaban mereka, itulah yang akan menentukan masa depanku.
Hari Minggu Papa nggak kerja, dan biasanya dia bakal langsung ke toko setelah sarapan. Tapi Minggu itu dia nggak berangkat ke toko dan menonton tivi di ruang keluarga.
Mama biasanya pergi nagih kreditan setiap Minggu pagi, dan dia memang melakukan itu. Aku nggak menemukannya di mana pun; hanya ada Papa yang sedang memandangi tivi sedirian. Aku mendekatinya. Papa mendongak untuk melihat ke arahku, tapi segera mengalihkan lagi pandangannya ke tivi. Papa memang nggak mau memandangku lama-lama setelah dia tahu orientasi seksualku ...
"Pa, nanti siang ada yang mau aku omongin ke Mama sama Papa," kataku penuh tekad.
"Mau ngomongin apa?" Papa bahkan nggak menggerakkan kepalanya sedikit pun ke arahku, seolah-olah dia sudah muak melihat wajahku yang mirip dengan wajahnya ini.
"Sesuatu yang penting, Pa," balasku.
"Apa? Tentang hubungan kamu sama cowok yang itu?" Suara Papa mengeras. Jarinya menekan remote dengan kasar, kuperhatikan otot-otot wajahnya menegang. Dia marah.
Aku nggak menjawab pertanyaannya karena saat itu aku terpana melihat papaku sangat galak, macho, tegas, tampan, dan berwibawa ketika ekspresinya sedang marah. Ya ampun, kenapa malah sempat-sempatnya memuji Papa di situasi kayak gini?
"Kalau itu yang mau kamu bahas, Papa nggak ada waktu," katanya kemudian setelah meletakkan kembali remote ke sebelahnya. "Sekarang, pergilah. Papa lagi nggak mau diganggu."
Jadi aku naik ke kamar dengan sedih dan kesal. Kulampiaskan kekesalanku pada pintu kamar yang aku tutup dengan cara dibanting. Nggak peduli kalau Papa tambah marah mendengar bantingan pintu kamarku, saat ini aku siap menghadapi kemarahannya dan nggak akan tinggal diam seperti malam itu ketika dia meninju Farhan dan menunjuk-nunjuk dadanya. Kenangan itu membuatku jadi lebih kesal dan kali ini kekesalanku kulampiaskan pada guling yang aku tonjok-tonjok dengan sepuas hati.
Puas memukuli guling, kuraih hape dan menelepon ke nomor Farhan. Pacarku itu langsung mengangkat panggilan pada dering pertama. Aku yakin Farhan juga pasti sama tegangnya denganku.
"Gimana?" tanyanya langsung, sepertinya lupa untuk mengucapkan "Halo" terlebih dulu.
"Papa nggak mau diganggu," jawabku. "Dia marah. Dia tahu aku mau ngomongin tentang hubungan kita."
Farhan membuang napas. "Mama gimana?"
"Mama lagi nagih kreditan." Aku melirik ke jam dinding, masih pukul sepuluh. "Jam satu mungkin dia udah di rumah. Aku bakal langsung ngajak dia ngobrol begitu udah di rumah."
"Bagus. Kabarin terus, ya. Aku bakal langsung otw setelah kamu ngabarin."
"Ya. Love you, Farhan."
"Love you too, Dino."
Tebakanku benar. Pukul satu siang Mama sudah ada di rumah. Aku turun dari kamar dengan harapan mengajak Mama ngobrol akan lebih mudah dibanding mengajak Papa. Begitu melihat Mama masuk ke ruang keluarga membawa plastik besar berisi barang-barang dagangannya, aku buru-buru mendekati dan membantunya membawakan plastik besar itu. Mama nggak heran ataupun curiga dengan perbuatanku. Dia malah tersenyum lembut sambil menatapku penuh kasih sayang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu & Aku #3
Novela JuvenilDino berusaha memperbaiki pertemanannya dengan Egy, yang ternyata susahnya minta ampun. Tapi untungnya dia nggak sendirian. Ada Bastian, Bimo, dan juga Farhan yang membantunya. Dan di rumah, keluarganya mulai mencurigai hubungannya dengan Farhan.