Chapter 21 : Best gift

18.8K 2.3K 512
                                    

Setelah berhasil menenangkan diri, Johnny membawa Ten pergi ke dapur untuk membuat teh hangat. Hari masih terlalu pagi untuk meminum kopi, jam digital yang terletak di meja televisi menunjukkan angka 02.35 am. Johnny mengambil selimut hangat untuk melindungi tubuh istrinya, ia juga membuatkan secangkir teh hijau sekaligus menempatkan kue kering di piring kecil.

Ten menyesap teh hangat tersebut lantas pikirannya kembali dingin. Ia terus meyakini diri bahwa Haechan baik-baik saja dan tidak mencoba membunuh dirinya sendiri. Semua itu hanya mimpi sekaligus teguran untuk Ten karena Ten terus saja mengesampingkan kesempatan.

Tangan kiri Johnny menyelipkan poni panjang Ten ke belakang telinga supaya tidak menghalangi pandangan. Hal itu disusul dengan Ten yang menoleh ke arahnya sambil tersenyum kecil.

"Maaf menganggu tidurmu." Ucap Ten, suaranya terdengar serak.

"Tidak tidak, aku belum tidur terlelap tadi." Ia tersenyum berusaha meyakini Ten bahwa semuanya baik-baik saja tidak ada yang perlu dikhawatirkan, "jadi... Apa ada sesuatu yang membuatmu seperti ini?"

Ten terdiam mendengarnya. Ia menunduk memandangi kedua tangannya yang saling menggenggam satu sama lain. Sekelebat bayangan Haechan yang menangis dan meneriaki nama Ten membuat hati pria itu mendadak sakit. Mimpi buruk itu menghampirinya karena ia terus memikirkan ajakan Johnny sampai tertidur.

Mungkinkah mimpi itu adalah sebuah teguran untuknya?
Mungkinkah?

Ia mengerti sekarang. Ia dan Johnny berpisah karena keegoisan masing-masing tanpa memikirkan anak-anak ke depannya. Tidak seharusnya ia bersikap gegabah hanya karena marah besar hingga berpengaruh kepada kedua anaknya. Jika saja malam itu Ten lebih dewasa dalam menyikapi masalah yang ada, mungkin hingga saat ini mereka berdua masih tinggal di bawah atap yang sama.

Perpisahan begitu berpengaruh untuk anak-anak mereka.

Haechan dan Hendery harus menerima kenyataan bahwa mereka tumbuh berkembang bersama satu orang tua saja. Namun, takdir berkata lain. Mereka dipertemukan kembali setelah 12 tahun berlalu dan berakhirlah seperti sekarang.

"Ten, mau kembali tidur?" Tanya Johnny sambil mengusap-usap punggung istri tercintanya.

"Aku ingin memberikan sebuah hadiah untuk Haechan dan Hendery." Ujar Ten tiba-tiba disertai dengan kepalanya yang menoleh ke arah Johnny.

"Okay... apa itu? Mau aku antar untuk membelinya besok pagi?"

"Hadiahnya adalah kita, kita berdua."

Johnny terdiam.
Masih belum mengerti dengan pernyataan dari Ten yang membuat pikirannya mendadak kusut. Ten tersenyum simpul lantas meraih rahang tegas suaminya, "aku mau kembali bersamamu, Johnny. Apakah tawaran itu masih berlaku?"

"Tentu saja..." Jawab Johnny tidak bisa menahan senyuman lebarnya. Ten tersenyum lebar juga lalu menyatukan bibir mereka. Benar, Ten yang memulainya duluan.





.
.
.
.
.
.





"Pagi pagi pagi."

Bibir mungil itu mengoceh seperti anak kecil saat kedua kakinya berjalan memasuki dapur. Haechan menguap lebar lalu meraih segelas susu putih yang sudah tersedia di atas counter dapur. Tatapan matanya tampak memicing penasaran karena melihat kedua orang tuanya mesra sekali. Johnny dan Ten berdiri memunggungi Haechan, kedua tangan mereka saling merangkul satu sama lain.

"Aku sangat mencintaimu, kamu tahu itu 'kan?" Johnny menyentuh pucuk hidung runcing Ten dengan gemas.

Ten tersenyum malu, "aku juga mencintaimu, suamiku."

Home | SeoFamily✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang