9. Mbem

375 41 2
                                    

Pagi-pagi sekali Fifien sudah bangun. Setelah menyelesaikan urusannya di kamar mandi pada pukul empat pagi. Fifien lalu berjalan menuju jendela besar yang berada di ruang tamu. Ia mengambil salah satu kursi di meja makan lalu duduk dengan menekuk kedua kakinya di atas kursi. Fifien memandang langit yang masih gelap, kelap-kelip lampu kota yang masih menyala.

Fifien menghela nafasnya pelan. Dengan dagu yang menopang di lutut Fifien menghabiskan waktunya memerhatikan keadaan di luar sana.

Fifien bukanlah tipe orang yang kasar, well, sedikit tetapi tidak pernah sampai seperti ini. Fifien tahu, ia kembali bersikap keterlaluan dan sangat kasar pada Henry. Amarahnya seakan tidak pernah bisa terkontrol jika harus berhadapan dengan Henry.

Tidak dipungkiri terkadang ia merasa sesal akan sikapnya yang selalu keterlaluan pada Henry itu. Namun ketika logikanya mengambil alih Fifien tidak peduli mau sekasar apa pun asal pria itu menjauh dari hidupnya maka akan Fifien lakukan.

Dan dua hari lalu adalah untuk kesekian kalinya bahkan mungkin lebih parah dalam mengata-ngatai, memaki Henry.

Fifien mendesah pelan. Henry memang gigih tapi ia tidak pernah membuat Fifien harus berbicara, pria itu sendiri yang akan terus mengoceh tanpa harus ditanggapi Fifien.

Kalau Gavrila tahu sikapnya itu pasti Fifien sudah diceramahi. Ia memang salah, tapi egonya masih terlalu besar untuk benar-benar mengakui kesalahannya itu.

Henry juga tidak bisa terus-menerus disalahkan walau begitu tetap saja pria itu mengesalkan namun tidak seharusnya juga Fifien bersikap seperti itu. Kasar.

Hah! Rasanya kepalanya mau pecah saja. Fifien pun memilih berdiri lalu menyibukkan dirinya di dapur. Memikirkan Henry mulai membuat suasana hatinya buruk dan itu tidak boleh terjadi. Ia butuh suasana hati yang baik untuk sepanjang hari ini.

|**|

“Fien!”

“Hmm? Iya, Mas?”

“Lo bisa nggak ke lokasi yang nanti kita pake buat syuting? Gue lagi sibuk banget nih.”

“Gue sendiri, Mas?”

“Iya, tenang cuma ngecek sekali lagi aja kok. Sekalian pantau pembangunan panggungnya, tiga jam nanti gue nyusul.”

Fifien pun mengangguk. “Awas ya tiga jam pokoknya. Kalo lewat gue pulang.”

“Iya. Thank you, Fien.” Senior pria Fifien itu menepuk pelan pundak Fifien kemudian berlalu menuju sebuah ruangan.

Fifien lalu merapikan atas mejanya, mematikan laptopnya, tak lupa memasukkannya dalam tas setelahnya keluar dari gedung pertelevisian itu.

“Mau ke mana, Fien?”

“Ngecek lokasi, Mbak.”

“Oh hati-hati!” Seorang karyawan yang berpapasan dengannya berlalu masuk ke dalam bangunan.

Beberapa kali Fifien berpapasan dengan orang-orang yang dikenalnya dan bertegur sapa. Sudah dua tahun lebih Fifien kerja di sini dan meski pun jarang bergaul tapi kenalannya cukup banyak.

Setelah menunggu beberapa menit di lobi, Fifien pun keluar menghampiri tukang ojek online yang sudah datang.

Di lokasi, dalam posisi bersidekap Fifien memandangi panggung yang baru saja dipersiapkan pada tadi pagi dan kini sudah berdiri meski belum benar-benar jadi.

Karena merasa sudah cukup melihat dan memastikan, Fifien pun menjauh mencari tempat berlindung dari sinar matahari yang menyengat. Fifien memilih salah satu pohon yang cukup bisa melindunginya.

How Heart Works [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang