23. Unimaginable

165 27 0
                                    

Tidak pernah sekali pun dalam benaknya bahwa ia akan berada di tempat ini sebagai saksi, catat, saksi. Ia pernah ke tempat ini namun untuk pekerjaannya bukan seperti ini.

Raut wajahnya siang tadi yang ceria kini berganti suram. Rasanya ia ingin memaki model itu tetapi berusaha ditahannya. Bukan hanya memaki kalau bisa juga ingin digamparnya.

Sore tadi ketika Fifien sudah menyelesaikan pekerjaannya di kantor, ia ditelpon oleh seniornya untuk menemui Delika, teman Gavrila itu. Tujuan Fifien menemui Delika untuk membawa barang yang dititipkan padanya melalui salah satu staff tadi.

Ketika ia tiba di apartemen Delika, suasana di kediaman wanita itu ramai, hanya empat orang tapi bagi Fifien itu ramai. Mereka sangatlah berisik.

Niatnya ketika barang yang dititipkan padanya sudah sampai ke tangan alamat yang dituju, Fifien akan langsung pulang tetapi ia justru harus tertahan di sini karena dibujuk tanpa henti oleh Delika.

Satu jam, satu jam Fifien ditahan di sana dan sejauh ini ia bisa bertahan–tepatnya memaksakan diri bertahan—. Padahal dari menit pertama saja Fifien sudah jengah.

Fifien memang selalu dilibatkan dalam pembicaraan mereka yang sebenarnya tidak jelas dan tak terarah, namun ia tetap tidak nyaman. Hingga ketika mereka sedang bermain truth or dare kecuali Fifien tentunya. Pintu apartemen diketuk–digedor—dengan keras dan terdengar suara lantang dari luar. Yang begitu dibuka sudah terdapat beberapa petugas kepolisian.

Fifien yang awalnya hanya duduk di ruang tengah sontak berdiri ketika para petugas dari kepolisian itu masuk. Dan kejadian setelahnya menyebabkan Fifien berada di kantor polisi.

Saat tiba di kantor polisi Fifien langsung menghubungi Ander, namun pria itu sedang bekerja sehingga tidak bisa dijangkau, jadi Henry pun menjadi pilihan satu-satunya. Ketika Henry bersedia datang Fifien sedikit merasa lega sehingga ketika melihat Henry yang celingukan dengan raut panik menghampirinya, tangis tak bisa dielaknya.

Tiga jam sudah Fifien diperiksa dan kini untuk sementara ia diizinkan pulang, namun besok harus datang kembali.

Begitu keluar dari ruang pemeriksaan, Fifien melihat Henry yang sedang duduk. Pria itu ternyata menunggunya.

Dengan pelan Fifien menghampiri Henry yang tengah menatapnya itu.

“Hen.”

Henry pun langsung berdiri berhadapan dengan Fifien. Tatapannya sarat akan kepedulian dan kecemasan.

“Mau makan? Kamu belum makan ‘kan?”

Fifien memandangi Henry dengan lekat sebelum kemudian menggeleng. “Aku capek.”

Henry mengangguk paham. Ia lalu merangkul Fifien untuk membawanya pulang. Hari gadis itu pasti terasa sangat berat.

---

Kepala Fifien saat ini rasanya ingin meledak. Ia yang baru saja selesai mandi menghampiri Henry yang sedang duduk dan menonton TV. Ia yang baru saja hendak duduk tak jadi karena pandangannya terpaku pada headline news.

Ia menatap kalimat headline dan menonton berita dengan lekat, sebelum kemudian TV dimatikan Henry.

Kening Fifien mengerut. Ia menoleh lalu memandang Henry. “Kenapa dimatiin?”

“Beritanya nggak bermutu. Dari pada ngeliatin itu mending kita makan.”

“Tapi gue mau liat.” Tangan Fifien yang hendak mengambil remote TV di atas meja itu kalah cepat dari Henry yang langsung menjauhkan remote dari jangkauan Fifien.

“Makan, Ien. Aku tahu kamu capek dan mungkin sama sekali nggak selera makan tapi kamu harus maksa buat makan. Aku nggak mau kamu drop nanti,” ucap Henry dengan tegas namun tetap lembut itu.

How Heart Works [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang