24. Tidak Sendiri

146 24 1
                                    

“Udah bangun?”

Henry yang sedang berada di dapur dan menyiapkan sarapan itu melihat Fifien yang baru saja keluar dari kamar. Rambut yang tergerai dan cukup berantakan, baju kaos yang kusut namun wajah yang segar menjadi pemandangan bagi Henry di pagi hari ini.

Meski badai menerpa kemarin tapi ia harus bersyukur karena dapat merasakan pagi yang seperti ini.

Fifien lalu melangkah mendekati Henry dan duduk di meja bar. “Sandwich?”

“Iya.” Henry mendorong sepiring sandwich dan segelas susu ke depan Fifien. “Makanlah. Hari ini akan butuh banyak energi.”

Perkataan itu membuat Fifien menatap Henry dengan sendu. “Hen. Gue kirain mimpi yang kemarin.”

Henry yang baru saja duduk dan hendak sarapan juga pun urung. Ia lalu berdiri dan memeluk Fifien sambil sesekali mengusap punggungnya lembut. “Aku bakal nemenin. Jangan kuatir ya? Semua akan cepat selesai.”

Fifien menghirup aroma tubuh Henry yang cukup membuatnya tenang itu. “Keluarga gue, Hen. Gue takut mereka tahu.”

Henry sedikit mengurai pelukan lalu menatap kedua netra Fifien. “Wajah kamu kemarin nggak diliput ‘kan?”

“Gue nggak tahu. Gue nggak fokus kemarin. Gimana kalo mereka tahu, Hen? Gue mesti gimana? Gue takut reaksi Mama.”

Suaranya yang terdengar bergetar di telinga Henry itu membuat hatinya serasa diremas. Henry tidak suka Fifien tertekan, ia tidak suka Fifien sedih.

Dengan lembut ia mengusap pipi Fifien membuat air mata gadis itu menetes. “Aku akan selalu di sisi kamu. Kita hadapi ini bersama. Ada aku. Bersandar saja padaku, nggak usah ragu-ragu karna ada aku di sini. Okay?”

Henry bukanlah anak pejabat atau anak orang kaya jadi ia tidak memiliki kuasa menutup akses berita di media. Yang bisa dilakukannya hanya seperti ini. Memeluk, memegang dan memberi sandaran pada Fifien. Henry berharap semua ini sudah cukup. Dengan ia berdiri di sisi Fifien, semoga gadis itu akan mampu menghadapi semua ini. Yang pasti Henry akan mengusahakan agar semua ini cepat selesai dan nama Fifien bersih.

Fifien mengangguk pelan. “Aku mau makan. Lapar.”

Henry tersenyum lembut. “Ayo makan.” Ia melepas pelukan mereka lalu kembali duduk di kursinya.

Sambil makan Henry sesekali melihat Fifien yang makan dalam diam. Fifien yang murung dan diam seperti ini sangat tidak suka dilihatnya.

Firasatnya benar dari awal bahwa ia tidak teman Fifien itu. Ia tidak suka melihat cara gadis itu tersenyum pada Fifien, terlihat menyebalkan. Mau melarang Fifien juga Henry bukan siapa-siapanya jadi yang bisa dilakukannya menjadi teman untuk saat ini. Yang entah dianggap Fifien atau tidak.

“Ien.”

Fifien yang sedang bersiap untuk harus kembali ke kantor polisi itu menatap Henry yang berdiri di depan pintu kamar.

“Ila menelfon.”

Dua kata itu membuat Fifien mendesah pelan sebelum mengangguk. Henry lalu masuk dan memberi ponsel yang masih terhubung dengan panggilan dari Gavrila. Setelah memberi ponsel, Henry keluar kamar dan memberi ruang buat sepasang sahabat itu.

“Halo.”

“Perempuan ini seh! Ko itu kenapa tidak angkat sa telfon hah? Sa pu chat juga ko tra balas. Ko sibuk bikin apa kah?”

Fifien meringis pelan. “Sorry. Sa lagi tidak terlalu lihat hape.”

“Ya sudah. Itu sa baca di artikel. Delika terlibat kasus narkoba. Sa pernah dihubungi dia karna de ketemu ko. Ko ada ketemu dia?”

How Heart Works [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang