12. Pantang Mundur

194 33 5
                                    

Henry malas sekali berada di sini bersama dengan Ibu-ibu arisan. Ini semua kerjaan Mamanya. Henry menatap Mamanya yang sedang sibuk bercanda tawa dengan teman-teman arisannya dan Henry harus duduk bengong melihat mereka.

Henry terlalu sayang Zita jadi mau tak mau ia yang menemani Mamanya ke arisan yang kali ini diadakan di sebuah rumah sakit dan sudah selesai sedari tadi. Namun begitu  namanya saja ibu-ibu jadi mereka masih berkumpul di aula rumah sakit itu untuk bercerita apa saja.

Henry ingin segera pulang tetapi ia tidak bisa karena ditahan oleh anak dari salah satu teman Mamanya yang ternyata bekerja di sini. Kalau saja Henry segila dulu pasti ia sudah meladeni gadis ini.

“Aku pengen banget ke negara Uni Eropa. Keliling di sana. Pasti seru banget. Itu cita-cita aku semenjak SMP. Aku udah bilang sama Mama kalau aku mau liburan dulu sebelum kuliah, tapi kata Mama aku harus kuliah, ambil spesialis, praktek dulu beberapa tahun baru aku bisa liburan biar bebas nggak harus ingat untuk sekolah dan sebagainya.”

Henry tersenyum tipis. Ya. Ya. Ya. Ia tidak tanya dan sama sekali tidak ingin tahu. Mau perempuan ini liburan di Kutub Utara juga Henry tidak peduli.

Henry tahu Mamanya itu sering meliriknya sambil tersenyum. Ia tahu Mamanya tengah mengejeknya dan itu membuatnya frustasi.

“Iya.” Hanya sesingkat itu tapi gadis ini sepertinya memiliki sifat menyebalkan karena ia tidak peduli dengan tanggapan cuek Henry, ia justru terus menyerocos.

Dan kini ia sedang bercerita masa-masa sekolahnya.

Gue nggak peduli. Bacot!

Karena jengah dan sudah mulai hilang kesabaran Henry memilih melihat-lihat unggahan orang di IGe. Begitu masuk di story Fifien, Henry tersenyum. Hanya foto tangannya yang memegang pensil dan buku sekitar tiga puluh menit yang lalu saja sudah membuat Henry senang.

Henry dengan cepat melihat jam yang tertera di atas ponselnya. Pukul tiga sore, memang sudah lewat jam makan siang tapi mana pernah Henry peduli.

Ia yang sudah jengah dan kesal mendengar cerocosan gadis itu pun berdiri, mengabaikan pertanyaan yang pasti terlintas di benak perempuan itu karena ia yang tiba-tiba berdiri itu.

Henry menghampiri Zita. Ia tersenyum tipis pada teman-teman Mamanya sebelum menunduk lalu berbisik di telinga Zita. “Aku mau ketemu temen. Udah janjian dari tadi dan aku udah telat. Aku nanti telfon Bang Sep buat jemput Mama.”

Tanpa menunggu jawaban Zita, dengan tak mengacuhkan raut wajah Mamanya yang mendelik kesal ia mencium pipi dan kening Zita lalu menegakkan punggungnya dan menatap teman-teman Mamanya.

“Tante-tante, semua, saya permisi ya. Sudah ada janji soalnya. Permisi semua.” Henry tersenyum ramah. “Bye, Ma.” Ia menatap Zita sambil memberikan lambaian tangan kecil pada Mamanya

Henry berjalan dengan cukup cepat menjauhi ruangan itu. Begitu berada di lantai satu Henry bernafas lega. Akhirnya ia bisa menghirup udara segar, dan kini saatnya menghampiri Fifien.

|***|

“Lo ngapain di sini?”

Suara itu, suara yang dirindukan meski terdengar ketus.

Henry menoleh seraya tersenyum ia berdiri sambil mengantongi ponselnya.

“Halo, Manis.”

Tatapan Fifien sungguh tidak bersahabat. “Ikut gue.” Fifien berjalan terlebih dulu dan diikuti Henry.

Henry sendiri hanya bisa senyam-senyum tidak jelas mungkin karena terlalu senang bertemu Fifien tanpa peduli sikap ketus gadis itu.

Fifien membawa Henry menuju tangga darurat. Jangan membayangkan sesuatu yang biasa ada dalam drama atau sinetron karena situasi saat ini jauh dari bayangan manis itu.

How Heart Works [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang