Sudah entah hembusan nafas yang keberapa kalinya terdengar dari Henry.
Saat ini ia sedang berada di rooftop kantor. Gelas kopi yang dipegangnya sedari tadi bahkan sudah menjadi dingin karena belum disentuhnya setelah sesapan pertamanya tadi.
Berulang kali seperti kaset rusak kejadian dua hari lalu terus terputar di kepalanya. Harus diakui, memang ia sudah salah bertindak hanya saja ia memang ingin melakukan itu meski ia sudah tahu bahwa jadinya akan seperti ini.
Tidak pernah sekali pun dalam hidupnya, ia berusaha menarik hati seorang perempuan sampai seperti ini. Memang dulunya pernah ada perempuan yang diusahakannya namun tidak pernah seperti usahanya pada Fifien.
Meluluhkan gadis itu benar-benar susah. Terlalu keras. Bahkan Henry harus rela dimaki-maki tapi Fifien sama sekali tidak merasa bersalah.
Sekali lagi hembusan nafas terdengar darinya.
Sekarang ia jadi bingung. Apakah ia sudah keterlaluan dengan terus menekan Fifien akan sikapnya?
Rasa-rasanya tidak. Henry akan diam jika disuruh diam, ia tidak akan banyak berbicara. Ia memang mendekati Fifien namun ia berusaha menjaga mulut dan juga sikapnya.
Namun belum tentu kan yang dirasanya baik-baik saja tidak bagi Fifien?
Hah! Ia pusing. Tapi ia sungguh menyukai gadis itu dan ingin berjuang untuknya.
“Kenapa lo, Hen?”
Henry menoleh, ia menemukan seorang pramugari sudah berdiri di sebelahnya dengan segelas kopi.
“Cuaca hari ini mendung, sama seperti hati lo?” Wanita itu meminum kopinya sambil menatap Henry.
Pria itu mengendik tak acuh.
“Selama kenal lo, nggak pernah rasanya gua liat lo sehilang arah ini. Apa perempuan itu sehebat itu sampai membuat seorang Henry galau?”
Henry berdecak sebal. “Nggak usah sok tau.”
Erisa, wanita yang usianya dua tahun di atas Henry itu tertawa kecil. “Satu kantor juga tau lo beda, Hen, cuma karna seorang perempuan.”
“Aneh kalau gue kayak gini? Rasanya enggak, dalam fase hidup nggak selamanya seseorang berjalan di tempat, akan ada datangnya perubahan.”
Erisa meneguk kopinya lagi. Ia memegang pembatas rooftop dengan salah satu tangannya. “Mungkin karna kami nggak pernah liat lo kayak gini, dan yang gua bilang tadi, lo itu nggak pernah kayak gini. Kami belum biasa aja.”
Henry menatap gelas kopinya lalu meminum kopinya yang telah dingin itu. “Cewek itu bakalan luluh kan kalo diperjuangin?”
Erisa yang sedang menatap langit segera menoleh pada Henry. “Tergantung.”
“Maksudnya?”
“Cewek itu akan luluh kalau dia memang suka tapi cuma pengen liat perjuangan cowoknya dan cewek itu nggak akan luluh kalau dia nggak suka sama cowok tersebut. Cewek itu terkadang ngeselin, ketika sudah diperjuangkan eh malah sama yang lain tapi nggak bisa disalahin karna hati siapa yang tahu kan?” Erisa menatap Henry dengan lekat.
Henry yang pandangannya terarah ke depan itu tidak menyahuti jawaban Erisa. Di dalam kepalanya berkecamuk satu pemikiran. Apa Fifien memang tidak akan pernah menyukainya sebesar apa pun perjuangannya?
Erisa yang melihat Henry seperti sedang tenggelam dalam pemikirannya itu tidak berbicara banyak. Ia menepuk pundak Henry pelan. “Yuk masuk, bentar lagi hujan.”
“Duluan aja.”
Wanita itu mengangguk lalu meninggalkan Henry yang masih betah menghabiskan waktunya di rooftop.
KAMU SEDANG MEMBACA
How Heart Works [Completed]
RomanceSpin-Off of Mr. Pilot Fallin' (Kalo nggak baca Mr. Pilot Fallin' pun gak papa) 🔹Fifien Lasea Judith 🔹Henry Parabawa Fifien Lasea Judith adalah seorang gadis yang terbiasa melakukan apa pun sendiri. Ia adalah penyuka kesendirian. Di usianya yang ke...