25. Mama

146 23 0
                                    

“Hen. Menurut kamu, aku beli nggak ya ini?”

Saat ini Fifien dan Henry sedang berada di mall. Mereka baru selesai nonton dan tengah berkeliling. Mereka berhenti di salah satu toko bunga. Fifien yang ingin melihat-lihat itu ditemani Henry di sisinya.

Untuk kasus yang dimana Fifien ikut terciduk itu sudah selesai kemarin. Setelah hasil tes urinenya keluar dan ia dinyatakan negatif dengan memberikan beberapa keterangan lagi, membuat Fifien merasa lega. Dan hari ini untuk membalas kebaikan Henry yang sudah menemaninya itu Fifien bersedia menemani Henry sepanjang hari.

“Beli aja sih. Kaktus ‘kan nggak harus kamu sering kasih air. Rawatnya juga gampang.”

Fifien berdiri setelah berjongkok beberapa saat untuk melihat berbagai jenis kaktus. “Iya sih, tapi nggak usah aja lah.”

“Jadi mau beli atau nggak?”

Fifien menatap Henry yang juga sedang menatapnya itu. Raut wajahnya jelas terlihat kebingungan. “Nggak tau aku.”

Henry tertawa kecil. “Ya udah. Dipikirin aja dulu baik-baik. Sekarang kita cari makan dulu yuk. Aku laper.”

“Mau makan di sini?”

Mereka yang baru saja melangkah keluar dari toko bunga itu terhenti bersamaan.

“Kamu nggak mau makan di sini?”

Fifien menggeleng. “Aku pengen bakso. Tapi di tempat langganan aku sama Neri.”

Saat ini memang Fifien sangat ingin memakan bakso. Ia sudah ngidam memakannya dari kemarin dan ia ingin mengabulkannya hari ini.

“Ya udah. Kita makan bakso.”

Fifien menghulum senyum. “Makasih, Hen.”

Henry mengelus pelan rambut panjang Fifien. “Abis makan temani aku ke barbershop ya?”

Fifien langsung menoleh menatap Henry dengan lekat. “Iya, rambut kamu udah gondrong. Oke, aku temenin.”

Hubungan mereka sudah tidak seperti sebelumnya. Meski belum jelas apa namanya hubungan mereka saat ini tapi sikap Fifien pada Henry sudah tidak sekasar sebelumnya.

Fifien memberi kesempatan pada Henry. Melihat kegigihan pria itu membuat Fifien tidak bisa menutup diri lagi. Terlebih di beberapa kejadian hidupnya Henry selalu ada untuknya. Ia yang tidak punya sanak saudara di kota ini merasa dilindungi dan diperhatikan oleh Henry. Meski ada Ander yang sesekali mengunjunginya dan juga memperhatikannya tapi Fifien segan dengan kekasih sahabatnya itu. Gadis itu juga sebenarnya masih segan pada Henry tapi lebih baik dari pada dengan Ander.

Oleh sebab itu Fifien mulai meruntuhkan dindingnya dan menyambut Henry untuk datang.

Setiap sentuhan fisik Henry pun tidak dihindari Fifien, ia justru merasa nyaman dan terlindungi. Apalagi kalau Henry sudah menggenggam jemarinya dan memainkannya, meleleh Fifien dibuatnya. Perasaan tulusnya dapat terasa terlebih ketika melihat tatapan pria itu yang sangat lembut dan hangat. Bagaimana Fifien bisa menutup mata terus menerus ketika pria ini begitu tulus?

“Mas.”

“Bentar. Apa?” Mereka yang berjalan sambil bergandengan tangan itu harus berhenti karena Henry.

Fifien melihat Henry yang menatapnya dengan kedua mata yang membola. “Apanya?”

“Itu.. Itu. Tadi. Kamu manggil aku apa? M.. Mas?”

Fifien tersenyum geli. Ia mengangguk kecil. “Nggak sopan aku manggil nama terus padahal kamu lebih tua jauh dari aku. Kalo manggil Kak berasa kakak tingkatku jadi ya Mas aja, meski masih aneh di lidah sih.”

How Heart Works [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang