13. Nemenin Yuni

244 32 0
                                    

Fifien yang baru saja keluar dari ruang kerja disambut oleh seorang rekan kerjanya yang terbilang cukup akrab dengannya. Usianya dua tahun di atas Fifien.

“Jalan yuk.”

Fifien yang sedang menatap layar ponselnya itu mendongak lalu menatap Yuni. “Ke mana?”

Mall yuk. Pengen ngadem sekalian cuci mata,” jawab Yuni.

Fifien mengantongi ponselnya. Keduanya memasuki lift yang sudah terdapat lima orang di dalamnya, keduanya berdiri paling depan.

“Lo tahu gue nggak suka mall, Kak.” Ia melirik Fifien yang berdiri di sebelahnya.

“Sesekali lah. Lo nggak bosen apa tempat lo nongkrong cuma warkop kalo nggak ya pulang. Temenin gue lah,” ujarnya pelan agar tidak mengganggu orang lain yang berada satu lift dengan mereka.

“Temen-temen lo pada kemana? Udah dibuang lo karna nggak guna?”

Celetukan itu membuatnya mendapat pukulan yang cukup bertenaga di lengannya. “Mulut dijaga, kampret.”

Fifien tertawa pelan sambil menggeser sedikit posisinya karena ada orang yang hendak keluar. “Sorry. Tapi gue tetep nggak mau, Kak. Ke tempat lain aja jangan ke mall.”

Lift sampai di lantai dasar dan keduanya pun melangkah keluar sambil berjalan bersisian. “Gue traktir makan deh. Gimana?”

Fifien tanpa menunggu lama langsung mengangguk. “Oke.”

“Asem lo. Giliran ditraktir cepet banget jawabnya.”

Yuni menggeleng-gelengkan kepalanya karena respon cepat juniornya itu.

Fifien menyengir. “Maklum anak perantauan kali, Kak.”

Gadis cantik dengan model rambut bob itu bergumam pelan.

“Lo bawa mobil kan, Kak?”

“Bawa kok tenang aja.”

“Gue yang nyetir ya?”

Yuni tentu mengangguk. Sepulang kerja seperti ini itu sangat malas kalau harus menyetir. Inginnya tidak membawa kendaraan ke kantor tapi naik apa nanti ke kantor? Yuni enggan naik angkutan umum, bukan karena sok kaya hanya ia pernah memiliki pengalaman kurang mengenakkan pada beberapa tahun lalu.

“Pacar lo ke mana, Kak?”

Saat ini kedua perempuan itu sudah berada di dalam mobil Yuni. Fifien melihat kaca spion kiri, kanan dan depan sebelum berbelok setelah sebelumnya menyalakan lampu sein.

“Digondol janda kembang.”

Fifien mengerutkan keningnya. “Serius lo, Kak?”

Yuni mendesah pelan. Ia menoleh menatap Fifien yang menyetir. Tangannya sudah bersidekap. “Sakit hati gue, Fien. Jelas-jelas gue lebih baik, masih gadis, masih belum terjamah, kenapa malah dibuang?” Lirihnya pelan.

Tanpa terasa airmatanya mengalir lalu dengan cepat dihapus tetapi sepertinya airmatanya enggan berhenti.

Fifien melirik Yuni, ia mengelus pelan bahu Yuni. “Nangis aja, Kak. Nggak usah ditahan.”

Hanya karena kalimat itu tangisan Yuni pun terdengar. Isakan pilunya masuk ke gendang telinga Fifien. Fifien mendesah pelan.

Memang biasanya Yuni sering mengajaknya jalan disaat-saat tidak terduga namun kali ini ternyata karena seniornya itu butuh teman.

“Dia akan nyesal, Kak. Nggak papa kok lo nangis buat dia, itu wajar, tapi gue yakin kelak lo bakal dapat pengganti dia yang jauh lebih menyayangi lo dan menghargai lo. Lagipula lo harus bersyukur karena dijauhkan dari orang yang nggak pantes dapetin lo, Kak.” Fifien berbicara dengan pelan sambil sesekali melirik Yuni yang menangis.

How Heart Works [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang