Fifien menatap dengan jengah pria yang dari tadi menyunggingkan senyuman manis yang justru memuakkan bagi Fifien.
“Bisa nggak sih lo tu menjauh? Nggak usah muncul, kalau perlu musnah sekalian.” Dengan ketus dan tajam Fifien berkata.
Pria tersebut justru mengendik tak acuh dan tak lepas memandang gadis galak, ketus dan jutek di hadapannya. “Kamu makin manis kalo ketus begitu.”
Fifien menggeram pelan. Dengan kemarahan yang sudah ditahan sedari pria itu duduk satu jam yang lalu membuat Fifien merasa tidak sanggup lagi hanya berbicara jadi bahasa fisik sepertinya lebih baik.
Dan kakinya yang memakai sepatu boot itu tersentuh secara kasar dan keras pada tulang kering yang hanya ditutupi celana jeans itu.
“Aww!!” Pekiknya tertahan. Tendangan itu terasa sangat sakit, tentu saja tulang kering yang menjadi sasarannya.
Henry mendesis pelan sambil mengelus kaki sebelah kirinya. Fifien yang melihatnya tersenyum puas. Ia menatap Henry dengan nyalang.
“Jauh-jauh dari hidup gue!” Setelah berkata dengan keras dan tegas Fifien melangkahkan kakinya keluar dari restoran yang menjadi tempatnya makan, meninggalkan Henry yang hanya dapat mengelus pipi dan juga dadanya untuk bersabar.
Sudah sekitar empat bulan, empat bulan sudah Henry berusaha mendekati gadis itu tapi tidak ada kemajuan, mungkin ada yaitu mereka semakin sering berdebat ralat –Fifien yang mengumpati Henry––. Meski frekuensi bertemu cukup sering karena sehabis terbang Henry selalu menyempatkan waktu untuk bertemu Fifien dan juga yang akan dengan terang-terangan mengusirnya, sikap Fifien sama sekali tidak ada perubahan. Dari Henry yang bersikap manis, lembut sampai terang-terangan menggoda pun tidak digubris gadis itu.
Fifien itu berbeda dari para perempuan yang selama ini pernah mampir di hidupnya. Fifien itu fierce dalam artian ia tidak sembarangan, mandiri, pandangannya lurus ke depan, dindingnya tangguh sehingga Henry harus berusaha ekstra.
Henry belum merasa menyerah karena ia masih merasa tertantang namun di sisi lain entah sampai kapan ia akan berusaha untuk meluluhkan hati sahabat Gavrila itu.
Henry mengutak-atik ponselnya lalu menempelkan di telinga.
“Halo.” Terdengar suara perempuan di seberang sana. “Ada apa, Kak?”
“Lakukan sesuatu sama sahabat lo itu."
Gavrila mendesah pelan. “Kakak, masih deketin dia? Gue salut sih, Kak, tapi Fifien itu lebih keras dari gue, susah luluhnya.”
Henry memijit pangkal hidungnya. “Dia punya masa lalu buruk apa gimana sih? Kenapa susah banget luluhnya. Selalu ditolak mentah-mentah, diusir dengan kasar. Gue juga punya harga diri.”
“Nggak ada trauma-traumaan, Kak. Nggak ada yang namanya masa lalu buruk dalam hal percintaan. Kakak, juga kan tahu sendiri dia lagi nggak mikir soal cinta. Dan Fifien emang gitu kalo dia nggak mau nggak bisa dipaksa. Kakak, kalo ngerasain udah mulai lelah mending istirahat dulu deh. Kasih jarak buat kalian,” saran Gavrila.
Henry memejamkan matanya sesaat. Apa ia harus memberi jarak barulah Fifien menyadari kehadirannya?
“Bukannya dia malah akan senang kalo gue nggak deketin dia lagi?” Tanya Henry sangsi.
“Iya juga ya. Ck, terkadang dia itu lebih rumit dari rumus matematika. Ya udah, nanti gue coba ngomong sama dia.”
“Oke. Thanks, La.”
“Sep.”
Lalu panggilan itu pun berakhir meninggalkan Henry yang kini menatap gelas kosong di atas meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
How Heart Works [Completed]
RomansaSpin-Off of Mr. Pilot Fallin' (Kalo nggak baca Mr. Pilot Fallin' pun gak papa) 🔹Fifien Lasea Judith 🔹Henry Parabawa Fifien Lasea Judith adalah seorang gadis yang terbiasa melakukan apa pun sendiri. Ia adalah penyuka kesendirian. Di usianya yang ke...