Bagian Sebelas

25.5K 3.3K 79
                                    

- A Y N A -

Percaya nggak kalau kebahagiaan dan ketidakbahagiaan adalah dua anak kembar yang tidak bisa dipisahkan? Ketika kamu merasa tidak bahagia percayalah ada kebahagiaan yang juga sedang menunggu untuk kamu rasakan setelahnya, seperti satu paket. Dan begitupun sebaliknya.

Saat tadi aku terlalu senang karena Litani bilang mau mentraktirku Dior seharusnya aku sadar ketidaksenangan juga pasti sudah menunggu diriku saat ini. Seperti detik ini, kesenanganku langsung menguap di udara begitu melihat sejoli ini bergandengan mesra dihadapanku. Tidak, bukan karena aku iri melihat tanganku sendiri yang sudah dipenuhi sawang sebab terlalu lama tidak ada yang menggandeng, tapi karena keresean si perempuan yang memaksa untuk mengambil face serum yang jelas-jelas sudah berada ditanganku.

But why God, dari begitu banyak store Dior di kota ini aku harus bertemu perempuan ini disini, rebutan barang yang sama pula.

“Pokoknya aku mau itu Mas. Kan aku udah bilang dari kemarin aku mau itu. Kamu jelasin dong ke si Mbaknya.” Ia merengek pada lelaki yang masih ia gandeng erat-erat.

“Wan, kan kita bisa beli di tempat lain kalau kamu tetap mau yang itu.”

“Enggak. Aku mau itu. Hari ini. Detik ini juga.”

Si perempuan rese yang beberapa hari lalu menyiramku dengan segelas cold brew masih memaksakan kehendaknya.

Aku berdecak, cenderung muak. Kenapa sih aku harus menyaksikan bahkan ikut terjebak dalam drama orang lain.

“Atau kalau Mbaknya mau bisa pre-order di kita dulu. Sekitar tiga hari lagi sampai kok Mbak.” Pramuniaga yang sejak tadi melayaniku dan juga terlibat dalam perdramaan ini ikut bersuara.

“Kalian semua dengar nggak sih. Aku mau yang itu sekarang, hari ini dan detik ini juga. Aku akan bayar dua kali lipat dari harga aslinya.”

“Cih sombongnya. Berasa anak Jeff Bezos apa gimana.” Litani bergumam disebelahku, meski masih bisa terdengar dengan jelas tentu saja. Aku menyenggol lengannya.

Mas Kale dihadapanku sudah memijat pelipisnya. “Wanda please. I beg you.”

I said no, Mas.” Kedua tangan perempuan ini terlipat angkuh didepan dadanya.

“Ay, saya minta tolong ya.” Mas Kale kali ini menatapku dengan pandangan sepenuhnya memohon. Dan entah kenapa hatiku mencelus mendengarnya amat putus asa begini.

“Yaudah deh Mbak. Kasih ke mbak-mbak yang lebih membutuhkan ini aja.”  Kuserahkan benda di tanganku ke sang pramuniaga, meski tidak rela sebenarnya.

“Loh. Nggak bisa gitu dong Ay. Kan lo duluan yang dapat ini barang.”

“Udahlah Tan. Kasihan ada yang lebih membutuhkan.”

“Apa kamu bilang. Kalian ini nggak tau aku siapa ya. Aku bahkan bisa beli seluruh isi toko ini kalau aku mau.” Ucapnya.

Ia membuka kacamata hitamnya dengan pongah. Padahal tanpa perlu repot-repot membukanya pun aku sudah tau wajahnya itu. “Cepat bungkus Mbak.” Serunya memerintah.

Aku dan Litani akhirnya memilih pergi meninggalkan sejoli itu tanpa mau menanggapi apapun perkataannya lagi. Rasanya aku sudah kesal setengah mati melihat kelakuannya itu. Aku malu jadi bahan tontonan orang-orang di tempat umum, aku malu dibuat seperti tidak mampu membeli barang ditempat itu. Aku malu, aku kesal dan aku ingin sekali menumpahkan sebotol penuh make up remover kewajahnya yang berlapis-lapis itu.

Kayak gitu tuh kelakuan laki-laki yang katanya mau lebih mengenalku? Jangankan membela, ia bahkan tidak bisa mengatasi kekasih medusanya itu. Sumpah mati aku tidak sedang cemburu. Lagipula sudah sejak awal kan kukatakan kalau aku memang tidak berniat untuk menerima perjodohan itu?

Quarter Life CriShit [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang