Bagian Dua Puluh Delapan

20.8K 2.7K 208
                                        

"You deserve someone who loves you with every single beat of his heart."
- Love Rosie -

A Y N A •


Saat itu kupikir dia orangnya, seseorang yg akan membuatku percaya lagi bahwa dunia ini tak melulu tentang hitam dan abu-abu. Kupikir dia orangnya, rumah yg akan menjadi alasanku untuk pulang dan merebahkan semua lelah dan luka.

Tapi ternyata dia hanyalah satu dari begitu banyak yang tak berperasaan. Menjadikanku pemuja cintanya kemudian menorehkan luka dan pergi begitu saja. Sampai pada keputusan terberatnya adalah aku harus membencinya, berat sebab pada kenyataannya dia adalah benci yg paling kurindukan.

Lima hari setelah operasi, bunda sudah boleh dipindahkan ke ruang perawatan. Anggota keluarga sudah bebas menjenguk meski jumlahnya masih dibatasi.
Dan sudah dua hari ini pula bunda selalu menanyakan hal yang sama—kenapa mas Kale masih belum kelihatan. Aku bingung harus menjawab apa, aku sendiri tidak tau dia dimana sekarang.

"Ay, kenapa?"
Untuk kesekian kalinya bunda menyadarkanku dari lamunan.

"Nggak kenapa-kenapa Bun."

Tentu saja aku berusaha untuk menampilkan senyum senatural mungkin. Tidak perlu ditanya bagaimana caranya, aku sudah cukup terlatih untuk itu.

"Nggak kenapa-kenapa gimana, jelas-jelas kamu lagi nggak disini."

"Ayna disini kok Bun." Kusentuh telapak tangannya.

"Badan kamu memang disini tapi jiwa kamu entah kemana. Memangnya kamu pikir Bunda nggak tau."

Aku menggelengkan kepala. "Bunda belum boleh banyak bicara dulu. Ayo istirahat."

"Yang sakit itu jantung Bunda Ay. Bukan mulut Bunda."

Jemariku memijat pelipisku yang berdenyut, pusing kalau sudah begini.

Tiba-tiba pintu kamar bunda terdengar berderit dan hal itu berhasil mengalihkan perhatian bunda, membuatku mengucapkan syukur berkali-kali di dalam hati. Siapapun orang yang masuk itu, sungguh aku berhutang hidupku padanya.

Beberapa detik kemudian aku menyesali perkataanku sendiri karena seseorang yang muncul dari balik pintu itu justru adalah orang yang paling tidak ingin kulihat wajahnya.

Mas Kale, masih memegangi gagang pintu sementara tangan lainnya membawa sekeranjang buah dan se-bouquet bunga mawar kuning. Lalu begitu saja, rasa sesak itu kembali menguap kepermukaan. Membuat jantungku seakan tertikam belati tak kasat mata, membuat nafasku berhembus tak beraturan.

"Kale, sini Nak. Bunda baru aja nanyain Ayna kenapa kamu nggak muncul-muncul."

Bunda terlihat sangat bahagia melihat calon menantunya datang menjenguk—ralat, mantan calon menantu.

Sial, nyeri di dadaku semakin parah.

"Semoga cepat sembuh ya Bunda. Maaf Kale baru sempat jenguk. Hampir dua minggu ini lagi hectic di kantor." Ia tersenyum.

Membuat perutku terasa berputar-putar—mual. Ingin sekali rasanya kubenturkan kepalanya ke tembok sambil berteriak, "Hectic your ass!"

Aku masih setia mengunci mulut rapat-rapat, kalau saja diijinkan untuk pergi dari sini sudah barang tentu aku akan kabur sekarang juga.

Bunda tersenyum lebar. "Iya nggak papa. Bunda ngerti." Ia mengangguk-angguk penuh pengertian.

Sementara mas Kale—argh! can we just call him 'dia'???

Quarter Life CriShit [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang