Bagian Dua Puluh Enam

19.4K 2.5K 7
                                    

Halooo...
Ini akan jadi chapter nyempil (kayak upil) makanya nggak sepanjang chapter2 sebelumnya. Rasanya kayak hari Sabtu di antara hari Minggu dan Jum'at tanggal merah. Kayak..kenapa sih nggak libur aja sekalian 😪 pelengkap penderita aja sih sebenarnya 😂 jadi, ya gitulah. Anyway, selamat membaca 💜

K A L E

"As long as you're by my side, aku akan baik-baik aja."

Kata-kata Ayna malam itu masih saja terngiang-ngiang di telingaku. Ada sesuatu di dalam matanya yang belum pernah kulihat sebelumnya. Aku tau apa itu, aku tau ada perasaan yang berbeda saat dia mengatakan itu. Kata-kata itu jelas bukan sesuatu yang hanya terucap oleh lisan, aku bisa merasakan hatinya ikut hadir disana.

Come on, dude! aku bukan lagi anak polos kemarin sore yang tidak peka akan perasaan wanita.

Malam itu setelah mengantarkannya pulang kerumah, aku tidak langsung pulang ke rumahku. Hatiku diliputi keraguan yang luar biasa mengganggu. Aku takut, benar-benar takut mengecewakan gadis itu.

Mobil Ayna yang saat itu kukendarai sudah tiba di pelataran rumah Saka, kulirik Tag Heuer ditangan kiriku ternyata sudah jam setengah sebelas malam dan Saka sudah menungguku di teras rumahnya.

"Hai bro." Ku sapa bapak beranak satu itu begitu menginjakkan kaki di teras rumahnya.

"Yakali Bro. Lo kalau mau ngajak ketemu bapak-bapak kayak gue jangan dadakan dong. Jadi ditinggal bini tidur kan gue."

Kududukkan diriku di kursi kayu di sebelahnya. "Puasa dulu lo malam ini."

Saka mendecih sambil memainkan jarinya di layar handphone. "Eh, lo baru main ke gumuk pasir parangkusumo ya?"

"Kok lo tau?"

"Liat instastory Anta tadi sore."

Aku hanya mengangguk-angguk.

"Cepat juga ya pergerakan lo deketin adik gue." Saka menunjukkan layar handphone nya padaku. Ada fotoku dan Ayna yang sedang saling menatap dengan landscape matahari terbenam yang di ambil secara candid di instastory Wina, caption-nya ditulis dengan huruf bold. Kira-kira begini,

"Senja, tak perlu lagi titip salam. Kubawakan ia padamu" -K&A

Tak kuasa bibirku untuk tak mendecih. Aku memilih untuk tak menanggapi tatapan mata Saka yang terang-terangan menggodaku.

"Ini tamu nggak ditawari minum apa ya."

Saka menatapku sebal. "Biasa juga ambil sendiri di dapur." Diletakkan gawainya di atas meja lalu bangkit. "Mumpung baik nih gue, mau minum apa?"

"Heineken please."

Saka tersenyum mencibir. "Gaya-gayaan minum Heineken, biasanya juga minum teh anget."

"Lah, tadi nawarin mau minum apa."

"Ya lo pikir rumah gue bar?"

Kali ini aku yang tersenyum mencibirnya. "Gue tau lo pasti stock. Ranum pasti nggak tau ya?"

Saka mengatupkan kedua sisi bibirnya. "Yeee si bangsat. Gue ambilin nih. Awas aja Lo ngadu sama bini gue."

Aku tertawa puas saat melihat Saka masuk ke dalam rumahnya dengan langkah sebal.

Tak berapa lama kemudian ia kembali dengan nampan berisi semangkuk es batu, dua gelas sloki dan cemilan. Sementara tangan kirinya menenteng dua botol Heineken.

"So, what's the problem?" Katanya, sambil menuangkan cairan bening itu kedalam sloki berisi satu blok es batu.

"Nggak ada." Jawabku enteng.

"Masih aja nih lo anggap gue bocah ingusan yang kenal lo baru kemarin sore?"

Kuteguk minuman yang Saka tuangkan. One shot.

"Kal, i know you can drink the ocean's liquor without getting drunk. Tapi lo bukan tipikal orang yang bakal minum cuma buat iseng-iseng atau lagi pengen aja kayak gue. Kalau udah kayak gini gue yakin pasti ada yang nggak beres."

Aku tertawa hambar, lebih tepatnya menertawakan diriku sendiri. Bisa-bisanya aku lupa sedang berbohong dengan siapa. "You know me so well, huh?"

Saka masih menatapku dengan serius. Gelas ketiganya hanya berputar-putar di tangannya.

"Ka, gue boleh tanya sesuatu nggak?"

"Tanya aja."

Kuhela nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya ke udara. "Bagaimana caranya lo bisa tau kalau Ranum orangnya?"

Saka tak langsung menjawab. Diletakkannya gelas itu ke atas coffee table di antara kami lalu melipat tangannya sambil bersandar ke punggung kursi.

"Gue nggak bisa jawab. Lebih tepatnya gue nggak bisa menjabarkan seperti apa perasaan gue ke Ranum saat tiba-tiba gue merasa kalau she is the one."

Ku tumpukan kedua lenganku ke atas siku. Saka kembali berucap. "Kal, percaya sama gue. Kalau saat itu tiba lo pasti akan tau. Nggak akan ada jawaban yang spesifik kenapa lo merasa sejatuh itu sama seseorang. Saat keyakinan bahwa 'dialah orangnya' tiba, nggak akan ada penjelasan yang pasti. If you know, you know."

Beberapa detik lamanya aku hanya menatap Saka tak berkedip. "Lo pernah nggak mikir kayak, man...gue bakal menghabiskan sisa perjalanan gue sama dia nih, bisa nggak ya gue settle down sama satu orang, kalau ditengah jalan perasaan gue berubah gimana. Atau lo pernah nggak merasa takut kalau perasaan yang sekarang lo rasakan ternyata cuma sesaat?"

"Karena gue cinta sama dia. Dan gue merasa nggak ada yang lebih penting dari itu dan gue juga nggak mau terlalu memikirkan hal yang gak bisa gue kendalikan."

"Jadi apa yang buat lo yakin kalau lo cinta sama Ranum?"

"Kal, lo bakal tau kalau lo cinta sama dia ketika dia jadi lebih penting dari sekedar ego yang lo punya. Selain dia, rasanya nggak ada lagi yang begitu penting. Lagian lo kayak baru pertama kali jatuh cinta aja. Nggak perlu gue ajarin lah."

Lalu kami berdua sama-sama terdiam. Udara malam yang semakin dingin tak mampu membuatku merasa lebih dingin dari ini.

Diteguknya minuman yang sempat ia letakkan di atas meja sebelum menjawab pertanyaanku. "Lo lagi ragu ya?"

Aku tak menjawab. Hanya mengedikkan kedua bahu lalu menenggak minuman yang baru saja kutuangkan.

"Nggak usah terlalu banyak mikir lah Kal. Just feel it."

Mungkin Saka benar, mungkin aku hanya harus merasakannya saja tanpa perlu memikirkan segala hal buruk yang belum tentu terjadi.

Quarter Life CriShit [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang