• A Y N A •
Satu minggu ini adalah minggu yang paling tenang selama dua puluh empat tahun masa hidupku di dunia yang sejatinya penuh konflik ini. Rasanya semua berlalu begitu saja, tidak ada hal-hal besar yang terjadi. Semuanya berjalan terlalu tenang seminggu ini, setenang jalan tol di jam dua dini hari. Atau semudah binge watching drama korea favorit, tau-tau sudah jam tiga pagi. Dan itu membuatku takut.
Karena jika ada life lessons yang kupelajari adalah bahwa hidup ini memang selayaknya sulit, jadi ketika semua terasa terlalu mudah aku yakin pasti ada yang salah.
Ini tidak berhubungan dengan kebiasaanku yang selalu mencemaskan segala hal yang belum tentu terjadi, tidak sama sekali. Ini murni karena pelajaran hidup yang membentuk pola pikirku seperti itu.
Pernah dengar pribahasa 'air yang tenang menghanyutkan' kan? Seperti itu lah, meski yang kumaksud disini bukan makna pribahasa itu secara harfiah. Tapi dari pribahasa itu kita tau bahwa sesuatu yang tampak tenang sebenarnya tak pernah benar-benar tenang.
Atau kalian pernah mendengar tentang rip current? Si pembunuh dalam sunyi di lautan. Permukaan laut yang tampak tenang dan tidak bergelombang namun menyimpan arus deras dibawahnya.
The real calm is dangerous.
Hari ini adalah jadwal operasi jantung bunda, dan saat ini aku sedang menemaninya beristirahat di kamar VIP tempat bunda di rawat karena satu jam lagi operasi akan dilakukan. Bunda berbaring di ranjang dengan pakaian pasien yang melekat ditubuhnya, ia sudah berpuasa sejak tujuh jam yang lalu. Selain itu bunda juga sudah melakukan pemeriksaan kesehatan dan menjalani tes darah untuk melihat kemampuan pembekuan darahnya.
"Ayah sama Dikta belum datang Ay?"
Kualihkan perhatianku dari buku yang sedang kubaca. Ternyata sejak tadi Bunda hanya memejamkan mata.
"Mungkin masih di jalan Bun. Ayah sama Dikta lagi ada kerjaan yang nggak bisa ditinggal."
"Kalau kakak kamu?"
Kuletakkan bukuku ke atas meja kemudian berpindah ke sisi ranjang bunda.
"Kak Ranum ada di rumah, memang nggak Ayna bolehin kesini karena kasihan bayinya Bun. Tapi nanti pasti dia kesini kok."Bunda mengangguk, barangkali sedang mencoba untuk mengerti. Apa mungkin bunda sedih jika operasi hanya ditemani olehku.
"Mas Saka lagi ada di kantin, atau Bunda mau Ayna panggilkan Mas Saka kemari?"
Bunda menggeleng. "Biarin aja, mungkin dia bosan kalau di dalam kamar terus."
Kugenggam erat-erat tangan bunda. Ia membuka matanya kemudian duduk menghadapku.
"Kamu sama Kale gimana?"
Pertanyaan bunda jadi membuatku teringat kalau sudah seminggu ini aku belum bertemu dengan pria itu lagi. Ia juga sudah mulai jarang mengirimiku pesan-pesan alay yang sialnya ngangenin. Paling banter cuma menanyakan kabarku, itupun sudah lewat tengah malam. Sementara aku baru melihat pesan masuk dari nya saat pagi hari. Begitu terus selama seminggu ini.
Iya...iya aku tau dia sedang sibuk, dia juga sudah mengatakannya, but still, aku rindu.
"Baik-baik aja kok Bun. Cuma Mas Kale memang lagi sibuk belakangan ini."
Bunda mengusap surai hitamku. "Kamu bahagia?"
Pertanyaan itu benar-benar membuat kepalaku harus diajak berpikir dengan keras. Apa aku bahagia?
Rasanya aku bisa mengatakan kalau aku memang bahagia. Mas Kale punya sisi nyaman yang tidak bisa kutemukan dari orang lain, dia tau bagaimana harus memperlakukanku, dia tau bagaimana cara menenangkan disaat aku sedang kehilangan pijakan. Saat aku sedang ragu pada diriku sendiri, insecure dan cemas akan hal-hal yang belum tentu terjadi, mas Kale ada untuk mendengarkanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Quarter Life CriShit [TAMAT]
ChickLitAda Kale Arsana Malik, si almost expired tampan kembaran Dylan Sprouse versi brewokan. Ditanya perihal kapan menikah sebenarnya bukan masalah besar untuk Kale. Tapi kalau yang bertanya itu ibunya, maka itulah sumber masalah besarnya. Karena apa? Kar...