• K A L E •
Saat usiaku belasan, aku selalu berpikir bahwa cinta hanyalah ibarat arena hiburan yang siapa saja bisa saling mencari dan berbagi kesenangan bersama. Cinta hanyalah tentang kesenangan dan kebahagiaan. Lalu usiaku bertambah, di awal puluhan perspektifku tentang hakikat cinta berubah drastis, saat itu aku mulai berpikir bahwa cinta adalah pedang bermata dua yang bisa saja mengoyak siapapun, cinta adalah pusaran badai yang siap melalap habis api yang menyala di dalam dada. Di usia itu aku memaknai cinta tak lebih sebagai sakit dan luka yang tak berkesudahan, penyebab kesengsaraan dan perasaan yang sangat sia-sia. Jangan salahkan diriku yang memaknai cinta seperti itu, pengalamanlah yang membuatku berpikir bahwa cinta adalah sebuah kesengsaraan sepanjang zaman.
Hingga di akhir usia dua puluhan ini aku mulai kehilangan makna cinta yang dulu selalu membuatku bertanya-tanya, aku tidak lagi mencari seperti apa bentuk cinta yang sesungguhnya itu, aku tidak lagi tertarik untuk merasakan perasaan sia-sia semacam itu. Aku hanya menjalani apa yang ada dihadapanku tanpa mau memusingkan apakah aku mencintainya atau tidak. Lagipula buat apa? Cinta bukan lagi hal yang penting untuk manusia dewasa sepertiku.
Sampai akhirnya aku bertemu dia, Anjayna Nayanika Janari. Gadis yang sungguh tidak pernah kubayangkan apalagi kurencanakan akan memasuki hidupku sedalam ini. Namun Ayna, dengan segala ketidaksengajaannya berhasil membuatku berani melangkah sejauh ini. Benar aku masih tidak memusingkan makna cinta itu, tapi bagiku Ayna adalah titik yang mengakhiri alinea pada halaman terakhir bab cinta dalam hidupku. Aku tidak membutuhkan banyak kata untuk menjabarkan seperti apa itu cinta, karena jawabannya tentu hanya satu kata, Ayna.
Aku telah berhasil melampaui diriku sejauh ini. Berani menceritakan sisi tergelap dari masa laluku adalah sesuatu yang kupikir tidak akan pernah bisa kulakukan, selamanya, tapi ternyata Ayna berhasil menarikku dari tepi jurang kedukaan itu.
Saat ia pergi segalanya menjadi tidak berarti, termasuk ketakutan dan rasa bersalah yang selalu kuagungkan selama ini. Rasa bersalahku pada Rania telah menahanku dari rasa bahagia yang selayaknya kurasakan, selama ini aku menahan diriku agar tidak berbahagia untuk menghormati Rania. Bagaimana mungkin aku pantas berbahagia setelah semua hal buruk itu terjadi pada gadis yang dulu begitu kucintai dan mencintaiku itu. Gadis manis dan baik hati yang meninggalkan dunia ini ketika sedang mengandung anakku, gadis yang amat kucintai, yang meninggalkanku dengan perasaan sakit hati yang bercokol di dadanya. Sampai akhirnya aku tau, bahwa satu-satunya gadis yang kucintai pun menghianatiku. Parahnya, aku baru mengetahui itu semua setelah bertahun-tahun kepergiannya dari dunia fana ini.
Tubuhnya menegang di dalam pelukanku, setelah untuk yang kesekian kalinya aku mengakui perasaanku padanya. Aku tidak perduli jika kali ini pun dia menganggapku hanya membual, aku akan terus mengatakannya sampai ia percaya bahwa aku benar-benar mencintainya.
Kurenggangkan tubuh kami agar aku bisa menatap wajahnya. "Aku cinta sama kamu Ay. Aku harus apa biar kamu percaya kalau aku benar-benar cinta sama kamu."
Kedua bola matanya yang bersinar mencari-cari kebenaran dari mataku lalu kemudian pandangannya menunduk. "Kenapa baru sekarang? Kenapa setelah aku pergi jauh dari Indonesia? Kamu yakin itu perasaan cinta bukan rasa bersalah?"
"Ay.."
Kutarik nafasku yang tiba-tiba terasa menyangkut di tenggorokan. "Aku nggak bisa mengatakan kalau aku cinta sama kamu dengan hati yang setengah-setengah. Aku butuh meyakinkan hatiku sendiri karena kamu layak untuk dapat sepenuhnya Ay."
![](https://img.wattpad.com/cover/265190481-288-k354601.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Quarter Life CriShit [TAMAT]
Chick-LitAda Kale Arsana Malik, si almost expired tampan kembaran Dylan Sprouse versi brewokan. Ditanya perihal kapan menikah sebenarnya bukan masalah besar untuk Kale. Tapi kalau yang bertanya itu ibunya, maka itulah sumber masalah besarnya. Karena apa? Kar...