PROLOG

579 40 27
                                    

Tidak ada yang namanya kebahagiaan yang abadi. Akan tiba saatnya hari di mana kau terperosok ke dalam jurang, tenggelam dalam samudera keputusasaan, menggigil dalam ketidak berdayaan, hingga kau sadar bahwa hari esok tidak akan pernah datang.

"Dasar, anak pembawa sial!" pekik seorang nenek bersama isak tangisnya yang pecah.

Di sudut ruangan yang hening dengan campuran aroma alkohol dan formalin, seorang nenek berbaju putih nampak memaki anak kecil di hadapan. Sebuah gelombang kemarahan yang tidak rasional terus melontarkan sumpah serapah dari balik bibir. Darahnya mendidih, tenggorokannya tercabik-cabik, kulitnya terbakar, batin pun meraung-raung sebab sedih dan amarah yang tidak mampu dibendung.

Anak itu hanya menunduk seraya menahan air di pelupuk mata. Tubuh ringkihnya masih berselimut pakaian basah akibat hujan deras yang menghantam. Beberapa bercak merah pula turut menghiasi seragam putih merahnya. Sementara kening yang masih mengeluarkan cairan merah kental tidak ia hiraukan karena terlanjur tenggelam dalam penyesalan yang siap menghantuinya seumur hidup.

"Sabar, ma. Mama jangan ngomong kaya gitu. Dia masih kecil." ujar Doni.

Wajah masam itu seolah menyiratkan sebuah kepedihan. Tentu, bukan hanya sang ibu yang dirundung lara. Tetapi, putra keduanya juaDoni. Pria berkacamata itu terus berada di samping ibu tercinta sambil melayangkan belaian lembut di antara tulang belikat malaikat hidupnya, membopong nenek tua itu untuk menjauh dari tempat menyedihkan ini.

Keduanya tanpa ragu meninggalkan anak itu mematung sendiri di sebuah rumah sakit, di depan ruang jenazah. Barangkali mengabaikan tubuh mungil yang menggigil bukan suatu hal yang sulit dilakukan. Oh, ralat. Boleh jadi sejak awal mereka memang tidak peduli dengan keberadaan anak itu. Sekali lagi. Membiarkan gelombang sedih, sesal, dan rasa bersalah yang kembali bersautan dalam benak anak itu adalah perkara yang begitu mudah.

EGLANTINE [T.A.M.A.T]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang