Senandung bel tedengar riang dalam pagi berselimut kabut. Nyanyian burung turut mengiring setiap langkah ke sekolah. Kiranya jalanan becek bersama pepohonan basah memberi pertanda akan jejak kedatangan hujan semalam. Bagi seseorang yang tidak menyukai terik seperti Aya, hujan merupakan langkah awal yang sempurna untuk memulai harinya.
"Cie, yang gak telat!" sindir Sindy bersama senyuman jahil, melingkari leher Aya dengan lengan yang sudah bertengger di sana dengan sempurna.
"Catet, nih! Mulai sekarang Aya yang suka kesiangan itu udah gak ada!" tandasnya, penuh percaya diri.
"Ah, kemaren-kemaren juga lo ngomongnya gitu!" cibir gadis seratus enam puluh sembilan centi itu.
"Tapi kali ini gue serius!" suara Aya turun pada oktav paling rendah, menandakan bahwa ucapannya bukan sekedar bualan belaka.
"Jadi, yang kemaren-kemaren cuma iseng, gitu?" Sindy mulai bosan mendengar siklus omong kosong Aya, ia sudah tidak ingin percaya lagi. "Udah ah, terserah lo! Yang jelas sekarang kita mesti buru-buru ke kelas! Gue pengen cepet-cepet ketemu Radi, nih!" ada rona yang diam-diam menetap di wajahnya.
"Iya, tapi gak gini juga kali, Sin!" rintih Aya, lehernya masih dipiting oleh Sindy yang lebih tinggi darinya, ditarik paksa tanpa iba.
Sejak kelas X, tepatnya tiga belas bulan yang lalu, Sindy dan Radi resmi berpacaran. Dan sejak saat itu pula keduanya selalu bersama laiknya sepasang sendal jepit yang tidak dijual secara terpisah. Mereka mungkin nampak menggemaskan bila dilihat dari sejumlah potret yang diunggah di akun media sosial. Tapi, percayalah. Itu semua hanya terjadi di dunia maya.
"Hai, babe?" Sindy tak lupa memberi senyum merekah, memamerkan deretan gigi putihnya.
"Kamu kemana aja, sih? Aku, kan jadi khawatir. Aku kira kamu gak masuk." tanya Radi, lovey dovey-nya itu.
"Yang ada aku yang khawatir sama kamu. Semalem pulangnya kamu kehujan, kan? Terus gimana? Meriang? Flu? Sekarang pusing gak?" Sindy yang cemas otomatis menggenggam tangan itu dengan tatapan sendu.
Enggan membuang kesempatan, Radi menuntun lengan Sindy yang salah mendarat di kening untuk mendarat di permukaan pipi. "Aku baik-baik aja, kok. Kan, biar bisa jagain kamu." mencubit manja pipi gadis bersurai sebahu itu.
"Iiiuuh!" sarkas Aya di tengah-tengah kemesraan mereka. "Bisa gak, sih gak usah alay buat sehari aja? Kasian biji mata sama gendang telinga gue tersiksa mulu!" pasalnya Aya sudah muak dengan pemandangan menjijikan yang harus ia saksikan hampir setiap hari.
"Sirik aja lo, jomblo!" sindir Cindy, tidak mau kalah.
"Iya! Orang yang terakhir kali putus sama tali puser sendiri tau apa, sih?" tambah Radi, sukses membuat Aya dongkol.
Kendati kedekatan mereka nyaris kehabisan jarak. Namun, sejauh ini baik Sindy atau pun Radi masih memegang teguh batas-batas yang tidak boleh mereka lewati, mengingat keduanya memiliki kehormatan yang harus dijaga. Setidaknya sampai sini dua sejoli itu sadar bahwa hidup tidak melulu soal cinta.
"Selamat pagi semua!" sapa ibu Nina, datang di waktu yang tepat dan langsung menghentikan aktivitas dua remaja yang sedang dimabuk asmara.
"Pagi, bu!" jawab seluruh penghuni kelas.
"Hari ini ibu ada berita gembira untuk kalian! Semester ganjil ini kelas kita kedatangan murid baru. Ibu harap kalian bisa berteman baik dengannya." pinta wanita yang hari ini mengenakan pakaian serba coklat. "Langsung saja, ya. Anak baru, silahkan masuk!"
Seorang pemuda yang sempat bersembunyi di balik dinding pembatas mulai masuk dengan aroma sabunnya yang khas. Lipatan mata, tulang hidung yang tinggi, bibir yang ranum, semua itu terkemas manis dalam balutan tubuh yang tinggi dan atletis. Kiranya kedatangan pemuda itu telah menjadi angin segar yang tidak boleh dilewatkan. Bahkan Sindy yang sudah memiliki pacar yang tampan ikut terpesona dengan paras rupawan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
EGLANTINE [T.A.M.A.T]
Teen FictionEGLANTINE tidak menjanjikan prolog yang indah, tidak pula mengiming-imingi epilog yang mendebarkan. Karena EGLANTINE hanya mengisahkan sebuah perjalanan yang tidak mengenal usai. *・゚゚・*:.。..。.:*゚:*:✼✿◌✾◌✿✼:*゚:.。..。.:*・゚゚・* Apa jadinya bila seorang g...