9. Yang Relatif Singkat

101 14 55
                                    

Dua puluh menit sebelum waktu istirahat pertama berakhir, Aya sudah kembali ke kelas karena terlalu mual bila berlama-lama di kantin, menghindari kabar burung dari kisah kasih asmara Bella dan Yash yang masih tidak jelas, meninggalkan kedua sahabatnya - Sindy dan Radi - di kantin.

Nampaknya beberapa hari kedepan, kantin juga akan dialih fungsikan sebagai ladang gibah sekolah. Di sinilah bibit dari tunas-tunas gosip itu tumbuh subur, menyebar, dan berbuah menjadi gosip yang dilebih-lebihkan. Bahkan mas Pardjo tukang bakso langganan Aya pun tahu.

Kejadian menyebalkan memang selalu datang di saat kita lengah. Namun, semesta juga selalu memberi obat di saat tidak terduga, seperti saat ini. Sekotak susu coklat tengah teronggok di atas meja Aya, menyematkan sebuah kata 'Maaf' yang terpatri di sticky note. Memang hanya seonggok benda kecil dan terkesan remeh. Tapi, mampu mengobati emosi yang semula meradang dalam dada. Ya, sekarang ada sebuah kebahagiaan kecil yang membuat serotonin Aya meningkat tajam ketika membaca sebuah ketulusan yang dititip pada setiap garis tangan di secarik kertas.

"Kenapa gak bilang langsung aja, sih?" heran Aya, memandangi sticky note seraya melukis bulan sabit di sana.

Sepasang netranya menatap luar dari balik kaca jendela. Kiranya cuaca hari ini tidak terlalu panas dan saat yang pas untuk menikmati susu coklat dari roof top sekolah. Bergegas keluar dan menaiki anak tangga untuk sampai ke lantai teratas, tidak sabar melihat pemandangan kota.

Namun, ada sebuah pemandangan berbeda yang tidak biasa Aya jumpa di atas sana. Biasanya ia selalu sendiri ketika harus memanifestasi energi gembira atau pun lara yang dirasa sudah cukup sesak untuk dipendam dalam dada. Tapi sekarang, untuk pertama kalinya Aya harus berbagi tempat persembunyian ini dengan orang lain.

"Yash?" panggil Aya, kedua mata sedikit memicing sebab tersimpan sedikit ragu di sana. "Lo ngapain di sini?"

"Mau lompat?!" balas Yash menguar mengudara. Entah mengapa terdengar tak bernyawa dan begitu putus asa.

"Haha, kalau gitu kenapa gak lompat aja sekarang?" nadanya terdengar setengah mengejek, membuat Yash diam seribu bahasa dan kembali tenggelam pada pemandangan kapas putih di langit biru.

Alih-alih cemas akan apa yang ada dalam otak pemuda itu, Aya tahu bahwa menangkap umpan Yash dengan serius hanyalah sebuah pemikiran yang berlebihan. Ya, tidak mungkin Yash memiliki pemikiran sebodoh itu untuk terjun dari ketinggian lima lantai. Baginya terlalu tidak masuk akal bila sosok arogan seperti Yash terbesit untuk mengakhiri hidupnya yang sempurna.

"Ini dari lo, kan?" Aya mengalihkan topik sebab terbesit hal yang lebih penting dari sekedar lelucon Yash untuk terjun bebas, memamerkan sekotak susu coklatnya di udara. "Gue tau banget tulisan lo!"

Memang agak memalukan. Tapi, bila ditanya mengapa Aya seyakin itu bahwa Yash adalah orang yang memberi minuman ini. Maka, jawabannya tidak lain karena ia kerap diam-diam mencuri jawaban Yash - nyontek - ketika terjebak dalam keadaan terdesak.

"Gue gak ngerti, deh kenapa lo bisa-bisanya kasih ginian sebagai permintaan maaf. Lo pikir gue bayi yang dikasih susu terus langsung baikan, gitu?" protes Aya, padahal beberapa menit lalu bibirnya nampak begitu mengembang.

"Yaudah, sini balikin!" dengus Yash seraya melayangkan tangan ke genggaman Aya namun langsung dihadiahi geplakan.

"Barang yang dikasih itu gak boleh diminta lagi!" tandas Aya, langsung menancapkan sedotan guna memindahkan cairan susu ke dalam lambung.

"Katanya gak suka." ketus Yash, membuang wajah.

"Gue gak bilang gitu, tuh! Apa pun yang ada coklatnya gue suka, kok!"

EGLANTINE [T.A.M.A.T]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang