Di sebuah bilik yang hanya dibatasi oleh tirai biru langit, hati bu Salma senantiasa teriris manakal mendapati Yash yang masih tidak sadarkan diri. Pipi lebam, bibir tergores, pula pelipis ditutup kain kasa guna menutup beberapa jahitan. Membayangkannya saja sudah terasa perih. Lantas hati seorang ibu mana yang tidak bergetar ketika melihatnya? Bahkan ketika Yash bukan anak kandung bu Salma sendiri, jiwanya tetap meronta-ronta melihat Yash yang masih terlelap tanpa daya.
"Sus, apa orang tua Yash sudah datang? Kebetulan anak yang datang dengan putri saya itu tetangga saya." tanya bu Salma.
"Belum, bu. Kami masih coba untuk menghubungi, bahkan pihak sekolah juga sudah kami kabari. Tapi, masih belum ada jawaban. Apa ibu bisa bantu kita menghubungi orang tua pasien?" tanya balik suster.
"Kalau gitu boleh saya minta nomor keluarga Yash?"
Alih-alih mendapatkan nomor, bu Salma justru menerima sebuah gawai yang nyaris hancur dengan beberapa retakan di layar. "Itu hp Yash. Tapi, gak banyak yang bisa dihubungi dari kontaknya." ujar suster, menatap sendu.
Segera menekan tombol kontak yang tertera di layar ketika suster berlalu guna melanjutkan tugasnya. Sepersekian detik wanita itu tertegun. Menatap kembali seluruh isi kontak yang termuat di sana, batinnya mengeluarkan seribu tanda tanya. Tiga. Tidak kurang tidak lebih. Hanya ada tiga nomor yang tersimpan di gawai Yash. Dan itu pun tidak ada kata ibu atau pun ayah yang umum dijumpai di gawai seorang anak.
Kendati masih bingung perihal sedikitnya orang yang dapat dihubungi. Namun, bu Salma lebih memfokuskan diri untuk menelpon nomor pertama – kak Lita – yang ia yakini sebagai kakak Yash. Dan kiranya semesta masih memihak bu Salma, mengingat sambungan itu langsung diangkat.
"Sorry, baru keangkat. Tadi kakak ada pasien ngamuk. Kenapa, Yash? Tumben telpon." tanya seorang perempuan di seberang panggilan.
"Maaf sebelumnya. Saya ibunya Aya, teman sekolah Yash. Apa benar ini kakaknya Yash?"
"Oh, bukan, tante! Saya mmm... Saya temannya Yash!" timpal kak Lita.
"Oh, gitu. Maaf, tante pikir ini nomor kakaknya." tersirat sebuah kekecewaan dalam air muka bu Salma. "Sekarang tante butuh bicara dengan keluarga Yash. Apa kamu punya nomor orang tua Yash?"
"Maaf, tante. Sebenarnya saat ini ibunya Yash lagi.. Mmmm... Lagi tidak bisa dihubungi. Dan setahu saya ayahnya Yash juga sudah lama meninggal."
Menyerap informasi yang saling tumpah tindih memang tidak pernah semudah itu. Mengetahui bahwa tidak ada orang tua yang bisa dihubingi justru semakin memperkeruh rasa iba yang sedari tadi menggelayuti jiwa bu Salma.
"Apa sudah coba hubungi tante Widya?" tanya gadis di seberang sana, sedikit memberi harapan dalam suaranya.
"Sudah. Tapi, masih belum ada jawaban." sahut bu Salma.
"Mmm... Mungkin beliau sedang ada pekerjaan di luar kota atau luar negeri, soalnya setau saya tante Widya memang agak sibuk dan setau saya orang terdekat Yash cuma tante Widya." jelas kak Lita. "Emangnya ada apa, ya? Kenapa hp Yash bisa ada di tante?" selidiknya, menyadari ada yang tidak wajar.
"Sekarang Yash ada di rumah sakit dan harus dirawat inap. Apa kamu bisa bantu untuk menghubungi keluarga Yash yang lain?" harap cemas bu Salma.
"Maaf, tante. Saya gak tau nomor keluarga Yash yang lain."
Nihil. Nyatanya informasi dari kak Lita tidak jua melepas dahaga bu Salma dari ribuan tanda tanya. Barangkali keberadaan keluarga Yash yang penuh misteri masih mengusik otak kecil wanita berbaju hijau itu. Beralih menghubungi oma yang semoga saja nomor kali ini memang benar-benar milik nenek Yash.
KAMU SEDANG MEMBACA
EGLANTINE [T.A.M.A.T]
Novela JuvenilEGLANTINE tidak menjanjikan prolog yang indah, tidak pula mengiming-imingi epilog yang mendebarkan. Karena EGLANTINE hanya mengisahkan sebuah perjalanan yang tidak mengenal usai. *・゚゚・*:.。..。.:*゚:*:✼✿◌✾◌✿✼:*゚:.。..。.:*・゚゚・* Apa jadinya bila seorang g...