31. Bahwa Sampai Kapan Pun

42 7 19
                                    

Alih-alih lekas menuju rumah, Sindy yang gagal kencan dengan Radi rupanya tidak kehabisan akal untuk menghabiskan waktu luang. Sepulang sekolah ia mengajak Aya untuk pergi ke mall. Oh, ralat. Lebih tepatnya menyeret paksa Aya yang sebenarnya tidak perlu diseret pun ia akan tetap ikut, mengingat telah tergiur dengan iming-iming Sindy yang siap menjadi Genie dari lampu ajaib Aladdin yang siap mengabulkan semua permintaan Aya.

Mulai dari shop, bioskop, hingga cafe terkenal dikalangan anak generasi Z sudah mereka sambangi. Bahkan detik ini mereka tengah beralih lokasi menuju tempat karaoke yang tidak begitu jauh dari mall, berjalan di trotoar yang cenderung ramai sambil menghirup segarnya angin malam. Namun, aktivitas yang biasanya terasa menyenangkan bersama Sindy kini tak jua mampu mengisi hati Aya yang hampa.

"Lo kenapa, sih dari tadi murung gitu? Gak seneng main sama gue?" rupanya Sindy diam-diam memperhatikan sikap Aya yang tidak biasa.

"Lo ngerasa gak, sih kayanya Ell lagi menghindar?" akhirnya Aya mulai jujur dengan perasaannya, mendengarkan alam bawah sadarnya. "Setiap gue ajakin ngantin bareng atau kumpul sama temen-temen yang lain, dia pasti punya seribu alasan buat nolak."

"Lah, bukannya itu sikap paling normal dari dia, ya?" Sindy tidak mengerti dengan apa yang hendak Aya sampaikan. "Lo gak bisa berharap seseorang bakalan berubah seratus persen, Ay. Apalagi berimajinasi kalau Yash bakalan berubah demi lo! Kalau kebiasaan aja sulit diubah, apalagi tabiat manusia. Gak bisa, Ay!"

"Nggak, Sin! Ini bukan soal menghidari keramaian. Tapi, gue ngerasa akhir-akhir ini Ell menghindari gue!" Aya memberi banyak penekanan pada tiap-tiap kata agar Sindy mengerti ke mana arah pembicaraan ini akan bermuara.

Jujur. Sindy sendiri tidak begitu yakin dengan kegelisahan sahabatnya, mengingat ia tak menemukan perubahan sikap Ell. Namun, bagaimana pun ia harus bisa menenangkan Aya atau setidaknya memberi saran terbaik dengan seraya berkata "Yaudah, lo coba tanya aja sama Yash kenapa dia terkesan menghindar dari lo!"

Sementara itu, di waktu yang sama, di tempat yang berbeda. Ell dan Radi masih bersemedi di dalam gedung warnet yang ramai ini. Sudah 4 jam panca indra mereka disuguhi hingar bingar para pro gamer atau pun newbie yang serius menatap monitor. Jujur saja. Tempat yang penuh dengan sorak soray kemenangan ini nyatanya bukan tempat pelarian terbaik untuk seorang Alfarezell. Baginya tidak masalah jika permainannya buruk. Namun, sayangnya Ell tidak menemukan kesenangan di sini.

"Rad, kapan balik?" tanya Ell, di tengah pertempuran sengit mereka.

"Bentar lagi." jawab Radi seadanya, lebih fokus mengejar dan menembaki pasukan musuh ketimbang menghiraukan pertanyaan Ell yang sudah tidak terhitung lagi jumlahnya.

"Dari tiga jam yang lalu juga lo ngomongnya gitu."

"Tanggung, Yash! Bentar lagi tim gue menang!" dengus Radi. "Mendingan lo belajar main lagi yang bener! Dari tadi lo kalah mulu, kan?" pertanyaan retoris itu sontak membuat Ell kalah telak.

Ell ingin pergi. Pergi ke mana pun. Tapi, ia tidak memiliki tujuan dan enggan pergi sendirian. Tidak ada hal khusus yang ingin ia lakukan. Begitu sepi seperti terjebak dalam ruang kosong di tengah keramaian. Kiranya Ell baru menyadari bahwa melepas diri dari lubang hitam yang berusaha menghisap sanubari dan nurani akan terasa semakin lara ketika ia berusaha untuk terlihat baik-baik saja dihadapan semua orang.

Tiada yang salah perihal sembunyi dan berlari. Tak apa bila perlu waktu untuk menenangkan hati. Pun tak ada yang pantas dihakimi, sebab semua orang memiliki cara tersendiri dalam menyelesaikan enigma hidup ini. Namun, yang menjadi pertanyaan terbesar saat ini, sampai kapankah Ell akan terjerembab dalam puing-puing kepedihan yang sama?

EGLANTINE [T.A.M.A.T]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang