KESEDIHAN berangsur-angsur lenyap bersamaan dengan kesadaran Yash yang mulai mengambil alih. Menatap langit-langit putih yang asing namun terasa familiar di saat bersamaan, menjelajahi sekitar. Ah, kiranya Yash baru sadar bahwa semua kejadian yang tampak nyata itu hanya sebuah mimpi, mimpi dari ingatan masa lalu yang membuatnya semakin merindu. Setelah sekian lama menunggu, akhirnya rindu itu menemukan titik temu. Kendati hanya berupa temu dalam bunga tidur yang mengundang Yash berlinang.
Haruskah aku senang karena akhirnya kalian datang?
Atau sedih karena kita hanya sebuah semu dalam kebersamaan?
Di tengah labirin yang Yash ciptakan sendiri dalam otak kecilnya, ia harus kembali merasakan getirnya kehidupan. Sekujur tubuhnya terasa sakit seolah tengah ditimbun oleh bebatuan raksasa, teramat berat hingga menggerakan jemari pun sulit. Pun kerongkongan Yash begitu tandus seakan dilanda kemarau dibulan agustus, membuatnya nyaris sekarat akibat kehausan.
Barangkali setitik tenaga telah pulih, membuatnya sadar bahwa ada setitik sentuhan yang Yash rasakan di telapak tangan. Menoleh ke arah kiri, terkejut manakala mendapati seorang gadis tengah tertidur lelap di sampingnya.
Apa aku masih mimpi?
Ada sebuah pemandangan indah yang baru kali ini Yash lihat sepanjang hidupnya. Bulu mata selentik ekor merak, pipi semerah tomat, bibir semanis ceri, pun rambut yang dibiarkan tergerai bagai ombak di tepi pantai mampu membuat Yash menemukan sebuah titik ketenangan dalam kekacauan dunianya. Membiarkan salah satu lengan mengudara guna mendarat lembut di atas permukaan pipi merah itu, pipi seorang gadis bernama Cahaya Rengganis.
Namun, niat itu terurung ketika atensinya teralih pada selang infus yang terpatri pada pembulu darah, menjelajahi saluran selang, menatap kembali sekeliling yang kiranya tidak asing lagi bagi Yash. Ya, dahulu Yash kerap mengubah tempat ini – rumah sakit – menjadi taman bermain masa kecilnya. Berlarian dari lorong ke lorong guna berjumpa dengan sang ayah di ruangannya.
Di sisi lain, keberadaan Aya memberi sekilas ingatan sore itu, ingatan buruk ketika dirinya pulang sekolah bersama Aya, ingatan buruk yang justru mengundang bias pelangi bersinar terang di bibir Yash manakala memandang wajah pulas Aya.
"Terima kasih karena kamu udah baik-baik aja." lirihnya, kali ini Yash tidak mengagalkan untuk membelai lembut pucuk kepala Aya.
Sekarang sudah 30 menit berlalu sejak Yash terjaga. Sungguh. Mulanya Aya diberi mandat oleh bu Salma untuk menjaga Yash. Namun, yang terjadi detik ini justru Yash yang menjaga Aya dan menunggu ia terbangun. Barangkali Aya terlalu lelah sebab menjaga Yash semalaman suntuk. Tapi, tak apa. Setidaknya ada pekerjaan yang bisa Yash lakukan tanpa harus bangkit dari brankar, memandangi setiap inci paras manis Cahaya Rengganis.
Beneran putri tidur, ya?
Di tengah aktivitas yang kiranya dalam waktu singkat telah menjadi sebuah hobi baru bagi Yash, ia mencoba meraih botol minum di meja sebab tidak tahan lagi dengan rasa hausnya. Kali ini terasa lebih sulit daripada saat tadi Yash mencoba duduk sendiri. Dan semakin sulit sebab botol mineral itu berada jauh dari jangkauan, menimbulkan decit kecil akibat mobilitas yang akhirnya membangunkan Aya dari tidur lelapnya. Sungguh. Ada sebuah sesal dalam benak Yash sebab telah membuat Aya terjaga.
"Yash, lo udah bangun?" sepasang netra Aya nampak membuat, ada keterkejutan sekaligus senang di nerta kecoklatannya.
Yang ditanya hanya tersenyum getir sambil memegang dada, mengatur pernapasan yang terasa nyeri hingga ke ulu hati. Yash tengah berusaha menahan sakit sebab enggan memperlihatkan sisi lemahnya, pantang mendapat iba dari semua orang, terutama gadis di hadapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
EGLANTINE [T.A.M.A.T]
Teen FictionEGLANTINE tidak menjanjikan prolog yang indah, tidak pula mengiming-imingi epilog yang mendebarkan. Karena EGLANTINE hanya mengisahkan sebuah perjalanan yang tidak mengenal usai. *・゚゚・*:.。..。.:*゚:*:✼✿◌✾◌✿✼:*゚:.。..。.:*・゚゚・* Apa jadinya bila seorang g...