Kini bu Salma dan tante Widya tengah berada di sebuah lobi, duduk di salah satu kursi tunggu meninggalkan Aya yang masih menyantap makan siang di kantin rumah sakit. Sungguh berat rasanya. Namun, bu Salma juga tidak berhak untuk terus menyimpannya, menyerahkan sebuah botol yang semalam ia terima dari dokter yang merawat Yash. Tante Widya sontak menunduk lesu, mengundang tangis yang sempat tertunda di antara keduanya.
Di sisi lain, Aya baru saja menyelesaikan makan siang, hendak kembali menuju bangsal Yash. Tapi, sepatunya otomatis berhenti ketika sepasang netra mendapati sang ibu dan tante Widya tengah duduk dengan keadaan tegang di lobi, bersembunyi di balik pilar terdekat untuk menguping pembicaraan mereka.
"Ini obat penenang Ell. Sampai sekarang dia masih trauma dan harus konsumsi obat-obatan kaya gini." ungkap tante Widya, menghapus bulir bening yang baru saja memberi jejak di pipi, enggan kesedihan itu berlama-lama terpatri di wajahnya.
"Yang kuat, ya. Aku yakin suatu hari Ell pasti bisa mengatasi traumanya." ujar bu Salma, menggenggam tangan tante Widya guna memberi sejumput ketabahan.
Di lain sisi, jantung Aya berdegup cepat sebab tiba-tiba mendapati rahasia besar Yash. Teringat kembali atas kejadian beberapa hari lalu yang membuat Yash begitu pucat dan sesak napas ketika mereka berada di dalam mobil ketika hujan turun. Tanpa Yash sadari, diam-diam Aya telah berhasil menemukan celah untuk melihat dunianya.
Ketika atmosfer ketegangan yang menyelimuti tante Widya dan bu Salma sidikit menurun, sepatu Aya tak ragu lagi untuk melanjutkan langkah, berpura-pura tidak mendengar obrolan mereka beberapa detik lalu. Memang. Kedua bibir Aya tidak pandai bersandiwara atau pun berbohong. Namun, selama tidak ada yang bertanya. Maka, rahasia itu akan tetap terjaga.
"Eh, mama? Ngapain sama tante Widya di sini?" seru Aya, berusaha bersikap normal senatural mungkin.
"Sebentar, mama mau beli minum dulu." sahut bu Salma, lekas berlalu dari kursi sebab enggan terlihat sendu di hadapan anak bungsunya.
Sungguh. Aya tahu bahwa pasti saat ini ibunya sedang mencari tempat sepi untuk menikmati sedihnya sendiri. Seperti yang kerap diam-diam Aya saksikan semala ini ketika bu Salma rindu dengan mendiang Rian, mengunci diri di kamar atau ruang kerja sang ayah dikala rindu meradang.
"Katanya Aya temen sekelasnya Ell?" tante Widya mengalihkan atensi Aya.
"Iya, tante. Aku juga sebangku samaaa..." tiba-tiba Aya dilema harus memanggil teman sebangkunya dengan sebutan apa. "Yash?!" pilihnya.
Tante Widya lantas terkekeh, merasa lucu melihat wajah Aya yang sempat tersirat gelombang bimbang selama beberapa detik. "Bebas ko, Ay! Mau panggil Yash atau Ell juga boleh. Cuma tante udah kebiasaan aja dari dulu manggilnya Ell. Meski pun kalau sekarang orangnya suka protes, sih!" sambungnya bersama tawa.
"Protes kenapa tante?" selidik Aya, duduk di sebelah tante Widya dengan memberi jarak satu kursi kosong di antara keduanya.
"Mmmm..." berpikir keras kendati tak kunjung jua menemukan kata yang tepat. "Pokonya sejak SMP dia gak mau dipanggil Ell lagi. Mungkin puber kali." sambungnya, diakhiri gelak yang menyamarkan kedua mata indah tante Widya.
Apa ini ada hubungannya sama trauma Yash, tante? Sayangnya gadis ber-hodie putih dengan ukuran agak kebesaran tidak berani menyuarakan dan hanya dapat ikut tertawa tanpa nyawa.
"Eh, kamu mau liat gak foto kecil Ell? Dulu dia gemesin banget, loh!" tawar tante Widya seraya mengeluarkan gawai dari tas, memainkannya dengan jemari lihai.
"Emang ada, tante? Aya mau lihat, dong!" balasnya, begitu antusias hingga beringsut sebab enggan membuat jarak dengan wanita bersepatu merah itu.
"Nih! Lucu banget, kan?" tante Widya langsung membagikan potret Yash dengan tersenyum bangga.
KAMU SEDANG MEMBACA
EGLANTINE [T.A.M.A.T]
Teen FictionEGLANTINE tidak menjanjikan prolog yang indah, tidak pula mengiming-imingi epilog yang mendebarkan. Karena EGLANTINE hanya mengisahkan sebuah perjalanan yang tidak mengenal usai. *・゚゚・*:.。..。.:*゚:*:✼✿◌✾◌✿✼:*゚:.。..。.:*・゚゚・* Apa jadinya bila seorang g...