33. Perjalanan Yang Pernah Aku Tempuh

49 7 20
                                    

BISIKAN doa yang menggetarkan langit tak henti-hentinya dirapal demi kesembuhan sang buah hati. Ayat-ayat itu memang benar. Tuhan akan senantiasa bersama dengan orang-orang yang sabar. Dan detik ini Cahaya Rengganis mulai membuka kedua mata, memanggil sang ibu ditengah suara paraunya.

"Ay? Kamu bisa liat mama?" tanya bu Salma, hatinya melompat bahagia.

Aya hanya mengangguk lemah sebagai isyarat, membuat bu Salma lega sebab kesadaran putri kecilnya menandakan bila operasi semalam dapat dikatakan berhasil. Wajah wanita bersurai ikal itu nampak kusut, nyaris semalam suntuk dirinya dirundung cemas yang membuatnya tak jua lelap. Lantas memanggil dokter untuk memeriksa kondisi anaknya.

"Kondisi Cahaya mulai membaik dan sudah memasuki tahap penyembuhan. Kalau nanti Cahaya merasa tidak kuat dengan nyeri di dada sampai membuatnya sulit bernapas, ibu bisa panggil suster untuk meminta obat atau oksigen." ujar dokter berkaca mata kotak, dokter yang mengoperasi tubuh Aya semalam.

Setelah dokter itu pergi, kepala Aya mulai mengingat sesuatu. Benar! Sebuah kaleidoskop kembali memperlihatkan peristiwa semalam, malam di mana Ell mengatakan hal-hal menyakitkan yang sama-sama meruntuhkan dunia mereka. Air mata mulai mengalir dengan sendirinya, terjun lurus ke sela-sela rambut dan telinga. Ia hanya mampu meratapi nasib mereka yang sudah tidak mungkin lagi untuk bersama. Tidak akan pernah ada lagi kata kita di antara mereka.

Hanya ada satu jalan keluar dari malapetaka yang terlintas dalam benak Aya, kembali pada tempat dan jalan masing-masing di mana seharusnya mereka tidak pernah lagi bersinggungan. Kentadi tempat kembali Aya tidak akan seutuh ketika sebelum Ell datang, mengingat perpisahan dengan Ell berhasil merenggut separuh dirinya.

"Kenapa? Kok, nangis?" tanya lembut bu Salma seraya menggenggam lengan kecil Aya. "Jangan takut! Aya pasti sembuh!" menghapus anak sungai yang terlukis di wajah itu.

Semesta benar. Hidup adalah tugas yang sangat sulit bagi manusia. Ada begitu banyak tekanan yang menyumbat bahagia menjadi binasa. Tapi, Aya tahu bahwa sejatinya manusia memang berhak menerima sedih, terluka, kecewa, dan menuangkan elegi menjadi sajak-sajak yang hanya terpatri dalam benak.

Kepada perjalanan,

Kita pernah satu haluan dalam sebuah garis lurus.

Pernah saling menarik dalam sebuah garis singgung.

Pun pernah saling menyapa dalam rankaian sajak doa.

Kepada lakuna,

Kita pernah tenggelam pada saat indah milik berdua.

Pernah terbuai pada asmara yang memabukan sukma.

Hingga lupa bahwa bahagia juga memiliki masa.

Kepada amygdala,

Dunia kita sudah tidak lagi bersinggungan.

Kita telah menjadi dua garis lurus berseberangan.

Aku dengan jalanku dan dia degan jalannya.

Kepada Alfarezell Yash Prakarsa,

Biarkan sang waktu bekerja untuk menyembuhkan luka.

Biarkan raga berteman dengan bayangan gelap kita.

EGLANTINE [T.A.M.A.T]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang