7. After Ten Years

20.4K 164 1
                                    

Dini menatap pantulannya di cermin dengan pandangan sendu. Sudah sejak lama perasaan bersalah memenuhi hatinya. Bahkan tanpa sadar tangannya berhenti menyisir rambutnya yang panjang. Lagi-lagi ia melamun.

Tiba-tiba saja ada sepasang tangan yang melingkari pinggangnya dan membuat Dini tersentak. Matanya bertemu dengan mata si pemilik kedua tangan. Mata hitam itu menatap Dini lekat melalui pantulan kaca.

"Kau murung lagi, Dini," ucapnya.

Dini membalas tatapan mata itu, "Aku benar-benar merasa bersalah padamu, Farel."

Farel mengerutkan dahinya, lagi-lagi percakapan seperti ini. Dia benar-benar tidak suka saat istrinya ini mengungkit-ngungkit masalah ini lagi. Haruskah ia mengulanginya lagi bahwa ia mencintainya istrinya ini apa adanya.

Dengan sedikit hentakan, Farel membalik tubuh Dini hingga mereka bisa saling menatap. "Kau tidak perlu menyalahkan dirimu terus. Aku mencintaimu apa adanya, Dini. Kau harus ingat itu!"

Dini masih belum bisa menghilangkan kerisauan di wajahnya. "Tapi kau memerlukan keturunan, Farel. Dan aku tidak bi-" ucapan Dini terhenti karena isak tangis keluar dari mulutnya.

"Siapa bilang kau tidak bisa memberikannya?! Kau bisa, Dini! Kau tidak mandul!" bentak Farel.

"Aku memang tidak mandul, tapi rahimku lemah. Lalu apa bedanya? Aku ini benar-benar istri yang tidak berguna."

Melihat air mata lagi-lagi mengalir di wajah istrinya, Farel segera membawa sang istri ke dalam pelukannya. "Kau selalu seperti ini setiap kita pulang dari rumah ayah."

"Ayah menginginkan keturunan, Farel. Dia ingin keluarga Ganendra memiliki penerus... dan ini semua salahku... Aku tidak becus menjadi istri..."

Setiap Dini bersedih, Farel hanya bisa memeluknya sambil menepuk-nepuk pelan punggung Dini. "Kita hanya harus berusaha, Dini. Dokter bilang kau bisa hamil."

Secara perlahan getaran tubuh Dini menghilang. Wajahnya yang masih berisi sisa-sisa air mata mendongak menatap wajah Farel. "Aku akan berusaha, Farel."

Farel menaikkan sedikit ujung bibirnya saat melihat kesedihan Dini sudah mulai menghilang. Kedua tangannya merangkum wajah putih Dini. "Malam ini kau bisa? Kau tidak merasa pusing, kan?"

Dini menggeleng, "Aku baik-baik saja."

Farel tersenyum kecil dan mencium pelan bibir Dini. Kemudian mengangkat tubuh Dini ke atas tempat tidur. Setelah membuat posisi Dini nyaman, Farel kemudian menempatkan dirinya di atas tubuh Dini setelah melepas baju yang ia kenakan. Tubuhnya ia topang dengan kedua tangan yang menumpu di kedua sisi wajah Dini.

Mereka sudah menikah hampir sepuluh tahun, tapi wajah Dini tetap memerah saat-saat mereka akan bersatu seperti sekarang ini. Dengan perlahan, Farel mendekatkan wajahnya ke wajah Dini. Mencium wajah istrinya dari dahi, mata, pipi hingga berakhir di mulut.

Mulut Farel yang memang sudah ahli mulai mengecap bibir Dini yang dipoles lipgloss rasa anggur.

"Hhh..." lenguh Dini saat lidah Farel menyeruak ke dalam mulutnya. Daging tanpa tulang itu mengabsen satu per satu gigi Dini dan bergulat pelan dengan lidah Dini.

Saat melihat tangan Dini mendorong pelan dadanya, Farel segera melepas pagutannya dan memberikan Dini waktu untuk menarik napas. Farel benar-benar tahu kalau tubuh Dini lemah karena itu ia sangat berhati-hati setiap melakukan hubungan intim.

Kembali Farel meraup bibir Dini dan mengecapnya sedikit lebih ganas karena tubuhnya sudah mulai memanas. Salah satu tangan Farel mulai bekerja dengan melepas satu per satu kancing baju Dini hingga terlihat dua gundukan besar milik Dini yang memang tidak mengenakan bra.

Tentang KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang