🌿20🌿

341 61 19
                                    

Sudah lebih dari seminggu dan perkataan Mas Jae masih mengganggu pikiranku. Setelah dipikir-pikir, benar juga, sepertinya aku salah. Namun hanya pada bagian pulang bersama Mas Akas padahal sebelum-sebelumnya aku bersama Mas Jae terus. Namun lagi, aku 'kan menerima tawaran tersebut karena terdesak? Mas Akas bilang Mas Jae sudah berangkat duluan, maka dari itu aku tidak punya pilihan selain menerima tiket pesawat itu-kecuali naik transportasi umum.

Jadi kenapa dia marah?

Mana aku juga nggak pernah menemui Mas Jae sejak hari itu. Jangankan menemui, bahkan saat berpapasan pun hanya sekedar lihat-lihatan karena geraknya begitu gesit sehingga baru aku hendak mendekatinya, dia sudah masuk kedalam rumah.

"Tapi suer, arsitek baru itu pernah gue lihat kayanya. Nggak asing gitu mukanya,"

"Fajar, plis, hentikan. Gue nggak mau dengar 'oh pantesan nggak asing ternyata kembaran gue' lagi ya cuma karena dia ganteng. Syukuri apa yang ada, Jar."

"Heh, bukan gitu ya! Dia ganteng sih, tapi tetep gantengan gue kemana-mana-udahlah, lo nggak bakal sadar. Pokoknya si arsitek baru tuh kalo nggak salah pernah gue lihat di parkiran kita deh, ngejemput siapa gitu. Terus feeling gue, yang dia jemput itu rekan kerja gue."

"Eh, bentar-bentar. Resa pernah bilang mas-nya yang sering ngejemput itu arsitek 'kan? Jangan bilang itu mas kamu, Res?"

Mas Jae kenapa sih? Ini pertama kalinya dia kelihatan sebegitu marah padaku sampai-sampai meninggikan oktaf suaranya. Sebelumnya bahkan aku pernah menumpahkan kopi pada lembaran tugasnya yang deadline-nya sudah dekat, nggak sengaja membuat senar gitarnya putus, tetapi dia nggak pernah marah. Serius! Mas Jae itu sebenarnya penyabar banget, kecuali kalau lagi jahil aja. Jadi kenapa...

"Res? Resa? Heh, kok ngelamun!"

Berkat panggilan Fajar yang terkesan tidak santai, aku mengerjap. Menyadari kalau cowok tersebut bersama tiga rekan kerjaku lainnya; Alma, Indira, dan Mbak Kania tengah membahas sesuatu tentang arsitek baru.

"Eh, kenapa-kenapa?"

"Kata si lampu pajar, arsitek baru itu kayanya mas-mas yang sering ngejemput lo. Emang iya, Res?" Indira menimpali, wajar dia yang paling bersemangat karena dia 'lah yang memulai topik ini setelah nggak sengaja berpapasan dengan si arsitek baru saat keluar dari ruangan direktur kami.

"Mas-mas yang sering ngejemput aku? Mas Jae? Kayanya nggak mungkin sih, soalnya dia punya firma arsitek yang dibangun dari nol bareng sama temen-temennya."

Sebenarnya aku ingin menjawab; aku pun kurang tau soalnya udah seminggu lebih kami nggak interaksi. Tapi ya sudahlah, toh Mas Jae juga nggak akan mendadak pindah kerja ke perusahaan yang sama denganku.

"Tuh 'kan, ingatan lo salah kali!" hardik Indira pada Fajar. "Hampir aja gue mau marahin Resa karena nggak kasih tau mas-nya seganteng itu."

Aku tertawa kecil mendengar penuturan Indira lalu kembali meneguk peach iced tea milikku. Jadi kebetulan semua orang di tim kami kedapatan kerja diluar kantor hari ini, termasuk aku yang dari jam delapan pagi tadi sudah menemani klien berkeliling salah satu cluster perumahan. Kebetulan juga pada kompak balik ke kantor sesaat setelah jam makan siang, kecuali Ezra dan Sheldana yang masih harus terjebak diluar sana hingga sekarang.

Makanya pada siang menjelang sore kali ini, dengan ide mendadak-nya Fajar, kami yang sudah kembali mengadakan acara makan-makan kecil-kecilan. Sekalian menunggu dua orang itu kembali karena mereka masih ada rapat sore yang harus dilakukan oleh semuanya kecuali aku dan Alma. Berhubung jarang juga kami ngumpul-ngumpul seperti ini.

"Tapi serius loh, mukanya beneran sama!" Fajar masih tidak mau kalah. "Tas gitar! Dia pake tas gitar tadi! Ada gantungan Mario Bros juga. Itu yang sering ngejemput lo 'kan, Res? "

PRELUDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang