"Alay banget sih pake acara kabur segala. Seharusnya kakak yang begitu karena tiba-tiba dilamar mantan,"
Aku terkekeh pelan mendengar gerutuan Kak Rena dari sambungan telepon, "Halah, sok mau kabur padahal bahagia dalam hati,"
Perlu kalian tahu, kisah asmaranya hampir semulus pernikahan Ratu Elizabeth II dan Pangeran Phillipe yang berlangsung lebih dari tujuh-puluh tahun lamanya. Kurangnya ya mereka keseringan LDR, soalnya Mas Ajun—panggilan tunangan Kak Rena—adalah nahkoda yang jauh lebih sering berada dilautan. Sebab itu juga hubungan mereka kadang kala putus nyambung. Kakakku yang putusin, nantinya Mas Ajun yang minta balikan. Begitu aja terus siklusnya sampai lelaki itu datang melamar beberapa bulan lalu.
"Ehm," dehamannya terdengar sengaja dibuat lebih keras, mungkin termakan candaanku. "Jadi, kapan mau pulang?"
Beda dari Bunda atau Ayah yang mungkin emosi lahir batin, Kak Rena spesies yang berbeda. Dia malah santai-santai aja dan menyuruhku menggunakan waktu sendirian sebebas mungkin. Kalau begini aja kami berubah akur.
"Gak tahu. Mungkin nanti, kalau udah siap rohani dan jasmani," jawabku dan dia segera tergelak dari ujung sana.
"Apaan banget sih jawabnya,"
"Ya 'kan tadi nyuruh jawab,"
Butuh cukup banyak waktu sampai kakakku itu benar-benar menghentikan tawanya. "Gak perlu buru-buru, Ayah udah lumayan reda emosinya kok. Pakai waktu untuk mikirin lamaran itu baik-baik—atau... ya... pikirin cara nolaknya gimana. Soalnya nikah itu 'kan bukan masalah sepele, walaupun si Kasa-Kasa itu keliha—"
"Namanya Akas," tukasku mengoreksi. Eh, ngapain juga aku melakukannya ya?
"Ya, si Akas atau siapalah namanya itu kelihatannya anak baik-baik juga. Dari foto sih ganteng, gak tahu aslinya gimana soalnya kakak masih dikantor waktu dia kerumah. Tapi keputusan balik ke kamu lagi, terserah mau gimana,"
Aku gak terlalu memikirkan penuturannya barusan. Jangan buru-buru pulang? Memang gak berniat pulang dalam waktu dekat. Pakai waktu untuk berpikir tentang lamaran itu? Sudah mumet malahan. Mas Akas ganteng? Entah sudah berapa kali aku amati wajahnya. Dan ya, lumayan bisa menandingi ketampanan abadi seorang Jaedrian anak bungsunya Tante Viona. Keputusannya ada ditanganku? Benar sih, cuma kurang dan orangtua aja.
Bahkan sampai detik ini, aku masih bingung kenapa 'perang dingin' antara aku dan ayah-bunda masih belum selesai. Aku mau-mau aja sih kalau diminta pulang, dengan syarat jangan disuruh menikah dengan orang sembarangan. Tapi masalahnya, kemungkinan itu yang bisa terjadi kalau aku menginjakkan kaki dirumah. Belum dengan kemungkinan lain jika ayah murka karena salah satu anak perempuannya menginap diluar tanpa izin.
Apa aku sebenarnya menunggu bunda menelepon kemudian berkata; sebenarnya lamaran itu cuma bercanda?
Lebih tidak mungkin lagi.
"Pokoknya bilang ke bunda gausah dicari, gak diculik kok. Hape aku aktif kalau mau nelpon,"
"Baik, buk,"
"Ingat, ya. Bilang hape-ku nerima telepon,"
Tidak mungkin, tapi apa salahnya berharap.
"Siap gan,"
"Kalau mau nelpon tinggal nelp—"
"Mboh, diajeng. Tak jalankan semua perintahmu," katanya dengan cepat, tersulut amarah sebab suruhanku yang berulang-ulang. "Yowes, nanti tak telepon lagi. Assalamualaikum,"
Dan tepat setelah sambungan diputus sebelah pihak, aku mendengus sebal.
Kalau bukan karena nada dering telepon yang menggema dari kakakku itu, mungkin aku masih melanjutkan tidur siang kesorean ini hingga sekarang. Omong-omong tadi pagi, aku gak mendengar apa-apa lagi dari balik pintu sehingga aku berasumsi Mas Akas memang betulan angkat kaki dari sini. Dengan begitu aku bisa memasak sarapan dengan damai, merealisasikan rencana bersih-bersih apartemen hingga ketiduran sehabis shalat zuhur.
KAMU SEDANG MEMBACA
PRELUDE
RomanceKetika pulang kerumah pukul sebelas malam, Adresia Syakira secara mendadak diberitakan orang rumah bahwa dia telah dilamar lelaki bernama Rhakas Nugraha--si senior semasa SMA yang berusaha mendekatinya beberapa minggu belakangan ini. Kakaknya bilang...