🌿08🌿

419 87 3
                                    

"Orangnya hampir setinggi Mas Jae, rambutnya hitam legam, pipinya agak gembul, matanya lumayan sipit, ngomongnya saya-saya-an, dan dari kelakuannya yang nunggu aku pulang kerja satu setengah jam lebih—kayanya dia penyabar,"

"Bukan info itu yang gue perlu, sih. Yang mau gue tahu, orangnya ganteng gak?"

"Ganteng itu rela-"

"Gantengan Mas Jae atau calon suami lo?"

Wah, ingin rasanya aku menutup rapat-rapat mulut itu.

Kalau begini ceritanya, aku harus segera mencari peralihan topik. "Maaf nih, aku gak kenal sama orang yang namanya calon suami lo. Gak berasa mau nikah juga,"

"Yaudah, gantengan Mas Jae atau MAS AKAS?" dan aku jadi ingin menghapusnya dari muka bumi karena penekanan pada dua kata terakhir.

"Mas Jae," tuturku tanpa perlu pikir panjang—maksudnya, hei, gak mungkin aku memilih opsi kedua 'kan? Tapi aku bersumpah demi koleksi Harry Potter-nya Mas Jae, ia akan bahagia setengah mati dan meledekku habis-habisan kalau mendengar ini. Padahal aku mengakui kegantengannya karena terpaksa.

"Oh, berarti gantengan Mas Akas," lalu aku makin murka.

Anya menepati janjinya untuk menemuiku siang ini, padahal aku sudah misuh-misuh agar ia tetap berdiam dirumah menunggu suaminya pulang. Katanya, Danu perlu mengurus beberapa hal terkait pekerjaan. Jangankan kalian, akupun heran kenapa pengantin baru sepertinya malah harus mendatangi kantor sehari setelah menikah.

Karena ini pertama kalinya kami bertemu setelah rangkaian pernikahannya selesai, baik aku dan Anya jadi bisa bertukar cerita tanpa takut diganggu kesibukan. Kami menceritakan banyak hal, mulai dari ketidakpercayaanku tentang Anya yang menikah lebih dulu, Anya yang ketiduran dengan wajah masih makeup-an tadi malam, Anya yang kesal karena Mas Jae gak sempat datang di nikahannya, begitupun aku yang bercerita tentang Mas Akas dan seluk-beluk kejadian lamaran tiba-tiba itu—soalnya, aku belum sempat memberitahu Anya sedikitpun gara-gara kesibukannya mengurus pernikahan.

Reaksinya saat tahu aku dilamar tiba-tiba tentu membuatnya kaget bukan kepalang, apalagi yang melamar adalah orang yang belum terlalu kukenal. Dia jadi bertanya ini-itu dengan antusias menyangkut lelaki yang melamarku. Dari kejadian itu aku menarik kesimpulan; jangan memperlihatkan foto Mas Akas, atau Anya bakalan menjadi lebih heboh. Hadeh, seharusnya aku gak lupa kalau dia memiliki tingkat ke-kepo-an yang lebih tinggi dibanding gedung Burj Khalifa.

Aku sedang sibuk mengotak-atik remote untuk mengganti channel ketika Anya kembali duduk disampingku setelah beranjak ke dapur, menyodorkan sebuah minuman kotak. "Lo tahu nama panjangnya? Biar gue stalking,"

"Rhakas.... Nugraha? Apa Nugroho, ya? Gitu pokoknya, aku lupa," Aku mengambil alih minuman itu, melempar pandangan kembali ke televisi yang terabaikan sejak kedatangan Anya.

Namanya juga perempuan, diberi kelebihan jiwa stalker yang akan keluar saat dibutuhkan. Anya lekas membuka kolom pencarian pada ponselnya, jarinya bergerak cepat mengetik sesuatu, lalu men-scroll layar dari atas ke bawah dengan agak kesusahan sebab ia hanya menggunakan satu tangan. Satunya lagi memegang minuman kotak yang sama seperti punyaku.

Bukan Anya namanya kalau gak dramatis.

Setelah mendapat apa yang dicarinya, ia membelalak kaget. Refleks menjatuhkan ponselnya ke lantai (untungnya jatuh ke area yang beralaskan karpet tebal), lalu memukul-mukul pelan bahuku dan menggeleng tidak percaya—masih dengan ekspresi yang didramatisir. Karena risih, aku angkat bicara, "Kenapa, sih?"

PRELUDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang