🌿09🌿

446 81 9
                                    

First day away from home.

Berjalan dengan baik, jika saja aku tidak memberanikan diri untuk menelepon Bunda pada malam harinya. Kupikir ibuku itu akan khawatir karena aku memutuskan kontak dengan mereka selama beberapa saat. Tapi nyatanya, yang kudapatkan jauh lebih mengejutkan daripada itu.

"Kenapa hapenya gak aktif? Kenapa pergi dari rumah gak bilang-bilang? Kenapa gak bisa dihubungin? Kamu mau main sembunyi-sembunyi-an sama Bunda? Mau pindah rumah?" desis Bunda tepat setelah kami tersambung. Memasang seulas senyum tipis, aku memikirkan  bagaimana takutnya aku sebelum memutuskan menelepon beliau jika ujung-ujungnya semua ketakutan itu berganti dengan sebuah tawa kecil.

Aku masih berada dalam ambang kebingungan antara harus menjawab apa atau lebih baik tidak menjawab ketika menggigit pelan beberapa kuku jari. Tapi aku berhenti mengkhawatirkan itu ketika Bunda kembali mengomel, "Kok gak ada suaranya, sih?"

Ini Bunda benar-benar bingung, atau menyindirku karena tidak kunjung membalas?

"Halo, Bun," sapaku gelagapan karena bingung harus merespon apa.

"Kamu dimana?" Bunda bertanya setelah menghela napas pelan. Aku jadi gelapan lagi, gak mungkin 'kan aku bilang sedang dirumah Anya?

"Ah, itu... anu, aku.... aku di—"

"Ayah marah besar, kalau bisa kamu cepat-cepat pulang," tukas beliau sebelum aku sempat membalas. Bukan rahasia lagi kalau Ayah pasti marah karena ini, malahan aku yang akan terkejut batin kalau Ayah ternyata baik-baik aja.

"Itu, anu... Maaf, Bun," cicitku pelan.

Sekarang, apa lagi yang harus kukatan? Kalau beliau menyuruhku pulang, apa aku benar-benar harus kembali? Dengan kondisi Ayah sedang marah besar seperti itu?

"Res," Bunda mengubah nada suaranya jadi lebih rendah. "Kalau kamu gak terima, setidaknya hargai dia. Kamu gak tahu gimana dia kemarin? Merasa bersalah karena gara-gara dia, kamu jadi pergi dari rumah tanpa kabar. Dia datang dengan niat baik-baik, bukan gini cara untuk menghargainya,"

"Bun, aku gak mau dipaksa nikah sama dia." kata-kata itu terlontar begitu saja saat Bunda selesai dengan kalimatnya—bahkan akupun agak terkejut dengan bibirku sendiri.

"Kamu 'kan yang bilang, gak mau pacaran-pacaran lagi kaya remaja labil. Memang, apa kurangnya Nak Akas?"

Ada banyak, Bun. Salah satunya; aku gak suka sama dia.

"Aku yang berhak menerima atau menolak lamarannya, aku gak mau nikah sama orang yang gak kukenal. Bunda juga gak terlalu kenal dia 'kan? Jadi kenapa lamaran itu diterima?"

Bunda tidak kunjung menjawab. Padahal disini aku sudah darah dingin menanti balasannya.

"Karena Bunda yakin, dia bisa jadi suami yang baik untuk kamu. Gak mungkin Bunda asal pilih orang untuk jadi pasangan anaknya 'kan?"

"Tapi gak gini caranya, Bun," Aku kembali memelas.

"Percaya sama Bunda, dia lelaki baik-baik. Bunda juga dekat sama mamanya. Kamu masih ingat 'kan, ridho-nya orangtua adalah ridho-nya Allah? Sekarang kamu pulang, kita bicarakan lagi dirumah,"

Sejak dulu, ibuku bukan tipe orang yang akan memaksa suatu hal pada anak-anaknya. Berbeda dengan Ayah yang ingin kami hidup sesuai jalur kemauannya. Kalaupun ingin memaksa, pasti Bunda akan melakukannya dengan lembut daripada menggunakan nada suara mengancam. Seperti kata-kata yang baru diucapkannya. Terdengar halus, namun terdapat makna tersirat yang berpesan Bunda ingin aku melakukan hal sesuai perkataannya.

PRELUDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang