Gawat. Aku mendadak ragu.
Aku betulan bakal memberikannya jam tangan tersebut atau tidak ya? Bagaimana kalau Mas Akas nggak terlalu suka? Bagaimana kalau dia bahkan sudah punya? Bagaimana kalau dia menolak terim—ah, bagian ini bisa kupaksa. Aman. Namun sisanya?
"Kok aku malah bimbang begini sih," rutukku bagi diri sendiri, soalnya aku sudah berdiri didepan pintu unit apartemennya Mas Akas saat ini. Nggak mungkin 'kan sudah tiga per empat perjalanan begini malah balik arah?
Ah, masa bodoh.
Daripada meribetkan diri dengan membingungkan hal yang tidak berguna, lebih baik bermasa bodoh dengan apa yang terjadi nanti. Lekas aku mengambil ponsel untuk mencari nomor Mas Akas diantara ratusan kontak. Naasnya percobaan telepon pertama berjalan dengan tidak mujur karena dia tidak mengangkatnya. Percobaan kedua, ternyata hasilnya sama. Karena aku orangnya pantang menyerah, sambungan akhirnya diangkat pada percobaan ketiga.
"Assalamualaikum, mas?"
"Waalaikumsalam, siapa ya?" balasnya dengan suara serak dan beberapa kali aku mendengarnya menguap. Loh, Mas Akas kebangun gara-gara teleponku ternyata?
"Resa, mas. Aku didepan pintu nih,"
"Oh ya? Tunggu sebentar,"
Kemudian suaranya tak terdengar lagi dan aku memasukkan ponsel kembali kedalam tas. Mungkin sekitar satu setengah menit berselang, Mas Akas membuka pintu dengan tampilan rambut acak-acakkan dalam balutan kaos putih dan track pants berwarna abu-abu tua. Beberapa sisi wajahnya terlihat basah, jadi aku berasumsi Mas Akas buru-buru mencuci muka begitu telepon dimatikan.
"Ada apa, Res?" dia bertanya sambil menyisir rambutnya menggunakan tangan agar tidak kelihatan berantakan.
"Ini mas, ada kentang goreng buatanku sendiri. Simpan di freezer ya, tinggal digoreng kalau mas pengen makan. Aku buatin saus keju juga."
Aku mengulurkan paper bag dengan raut senang, soalnya didalam itu juga terdapat jam tangan yang kubelikan tadi malam. Benar, kentang goreng hanya sebagai alibi karena apabila aku terang-terangan memberikannya jam tangan sudah pasti akan ditolak. Aku belum pernah memberikan jam tangan padanya sih, tetapi dari kejadian Mas Akas nggak akan membiarkanku menolak cincin pemberiannya kemarin, bisa ditebak kalau dia pun bakalan menolak keras ketika kuberi sesuatu.
Kali ini aku akan bersifat memaksa, karena aku paling nggak bisa menerima pemberian dari orang seperti Mas Akas. Rasanya aku tidak berada dalam posisi berhak menerima hadiah mahal darinya meski dia berkata sebaliknya.
"Makasih ya." Mas Akas berusaha tersenyum saat menerimanya meski wajahnya kelihatan sangat mengantuk. "Kentang goreng bisa buat sarapan nggak?"
"Goreng-gorengan kaya gitu mana mungkin bagus buat sarapan. Memangnya kenapa?"
Kenapa tiba-tiba dia nanya begitu ya? Jangan bilang...
"Mas belum sarapan?" tanyaku yang segera diiyakan. "Ini udah jam bera—"
Aku mendadak terdiam ketika melihat arloji pada pergelangan tangan kananku. Ternyata sekarang baru jam setengah delapan pagi, pantas saja dia masih tidur dan belum sarapan. Ini masih terlalu pagi untuk ukuran cowok 'kan?
"Makanan yang aku bawa kemarin masih banyak 'kan? Makan itu aja, tinggal dipanasin." ucapku memberi saran.
"Udah dimakan sama anak-anak kemarin,"
"Yaudah, mas masak sendiri aja."
Mas Akas menggeleng pasrah. "Bahan dapur habis semua, Resa. Kamu nggak liat kulkas aja isinya air dingin doang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
PRELUDE
RomanceKetika pulang kerumah pukul sebelas malam, Adresia Syakira secara mendadak diberitakan orang rumah bahwa dia telah dilamar lelaki bernama Rhakas Nugraha--si senior semasa SMA yang berusaha mendekatinya beberapa minggu belakangan ini. Kakaknya bilang...