🌿03🌿

568 104 2
                                    

Leaving ur vote is the easiest way to appreciate my works.

➖✳➖

Meski ada perasaan senang yang terselip karena gak perlu mencari angkutan umum—aku gak semanja itu soal transportasi umum, tapi kalau ada yang lebih baik kenapa tidak?—sebagai alat pulang, aku juga punya beberapa perasaan mengganjal yang susah diutarakan.

Aku tipe perempuan yang gak ingin berhutang apa-apa kepada laki-laki, apalagi kepada yang baru dikenal. Selain itu, aku juga kurang nyaman berada dalam satu ruangan tertutup bersama orang asing. Seperti sekarang contohnya. Mas Akas dan aku dalam satu mobil yang sama, tengah terjebak macet panjang yang terjadi karena sudah waktunya pulang kerja.

"Mas udah nunggu lama?" Setelah menimang-nimang kalimat mana yang harus kugunakan sebagai pembuka, aku memilih satu diantaranya.

Aku meliriknya, menunggu jawaban. Sedangkan yang kulirik hanya menatap lurus ke jalanan, sesekali melihat kearahku setelah sadar aku menunggu jawabannya. "Mau jawaban yang buat kamu nyaman atau gak nyaman?" tanyanya yang membuatku bingung, lalu aku mulai menebak-nebak jawaban sebenarnya.

"Dua-duanya," kataku membalas Mas Akas. Sebab jika aku bertanya lebih jauh, mungkin akan memakan waktu lebih lama nantinya.

Ia memutar setir membelok kiri, dan mungkin aku harus menunggunya selesai dengan urusan belok-membelok untuk mendengar balasan. "Saya udah nunggu kamu sejak jam empat sore, sesuai dengan yang kamu bilang tadi pagi. Sepertinya jawaban itu yang membuat kamu nyaman,"

Betul perkiraanku. Mas Akas sudah menungguku sejak jam pulang biasanya, dan aku tidak suka kebohongan. Kalau memang menunggu lama ya jujur aja, kenapa harus disembunyikan hanya agar yang ditunggu tidak merasa bersalah?

"Maaf ya, Mas, udah nunggu lama. Aku kira yang jemput Mas Jae. Kalau dia yang jemput, dia udah ngerti aku belum keluar jam empat berarti pulangnya ngaret," ujarku menautkan tangan, sesekali memainkan jari saking tidak tahunya berbuat apa. Resa sedang dalam mode merasa-bersalah-tapi-gak-sepenuhnya-salah sekarang.

Mas Akas menatapku lekat setelah aku berkata begitu. Meski gak menatapnya balik, aku bisa melihat dari ujung mata bahwa wajahnya menghadapku. Barulah ia memalingkan wajahnya begitu aku memohon-mohon dalam hati agar Mas Akas tak melihatku lagi. "Kamu... Sedekat itu ya, sama Jaedrian?" tanyanya dengan nada rendah, pelan, dan terkesan ragu.

"Hm?" Aku sedikit terkejut mendengar pertanyaannya. "Oh, itu... Ya, mau ngejauhin pun gimana, aku apa-apa sama dia soalnya. Mana tetanggaan lagi," ujarku membalas, kubuat nada bicaraku sedemikian mungkin agar terdengar lucu. Benar-benar bukan Resa yang biasanya.

"Hubungan kalian sedekat apa?" tanya Mas Akas lebih lanjut, yang membuatku menjadi agak risih karena ia sangat terkesan ingin tahu. Aku sudah bilang 'kan, aku gak suka bersama orang asing? Inilah mengapa aku malas mengenal orang baru. Aku malas mengulang cerita tentang siapa namaku, bagaimana ceritaku, disaat orang yang kuceritai mungkin akan lupa di kemudian hari.

Aku bergeming sesaat, merasa Mas Akas gak perlu tahu soal itu. Lagian, Mas Jae itu 'kan teman satu band-nya. Kenapa tidak bertanya padanya saja? Namun ternyata, malah pikiran itu yang mendorongku untuk menjawab pertanyaan Mas Akas tadi. Mas Jae itu temannya, jadi artinya dia juga berhak tahu.

"Ya, gitu-gitu aja sih. Awalnya dekat karena aku selalu nebeng pergi dan pulang bareng waktu aku masuk ke SMA-nya, gak taunya terus lanjut sampai Mas Jae lulus. Walaupun kampusnya agak jauh dari SMA, dia tetep mau aku pergi dan pulang bareng dia. Lanjut sampai sekarang," tuturku. Walaupun gak rinci-rinci amat, yang penting aku sudah menjelaskan garis besarnya.

Aku dapat melihat Mas Akas mengangguk-angguk, lalu dia kembali bertanya, "Jadi, cuma sebatas teman pergi-pulang bareng?"

Duh, tingkat kesulitan pertanyaannya makin lama semakin naik. Mau kujawab samar-samar, tapi dia tetap menanya lebih lanjut. "Iya, kalau aja kami gak tetanggaan. Tapi karena rumah kami sebelahan, apalagi Mas Jae sering gangguin adik aku yang kebetulan kamarnya hadap-hadapan sama dia yang berujung ngadu ke aku, mau gak mau aku jadi sering kerumahnya."

Seharusnya dia sudah cukup bertanya, 'kan? Aku sudah menjawab panjang lebar.

"Res,"

Iya sih, gak ditanya lagi. Tapi kali ini aku dipanggil.

Aku memalingkan wajah untuk melihat Mas Akas sambil menaikkan kedua alis, pertanda aku bertanya balik 'ada apa?'. Bersamaan dengan mobil yang berhenti berjalan, aku menunggu kalimatnya. "Jangan sungkan ngomong sama saya. Walaupun saya pendiam, aslinya saya juga banyak nanya orangnya. Semoga kamu nyaman dengan kepribadian mas, ya."

Bengong, itu yang kulakukan semenjak Mas Akas menyelesaikan kalimatnya. Kalimatnya seperti mempunyai maksud tersirat yang gak dapat kupahami sejauh apapun aku berpikir. Setelah Mas Akas sedikit mengibaskan tangannya didepan mataku, baru aku kembali sadar. Ia menggerakkan kepalanya menunjuk ke belakang, "Kita udah didepan rumah kamu, Res,"

"Eh, iya Mas," Aku segera membuka pintu dan keluar untuk menghampiri Mas Akas lewat kaca jendela mobil disebelahnya. Tapi sebelum aku sampai, dia sudah keluar dan berdiri disamping pintu lebih dulu. "Makasih ya, Mas, maaf karena nunggunya kelamaan. Mungkin lain kali, kalau kita ketemu lagi, aku bakal traktir makan," ajakku.

Jangan salah, aku hanya gak ingin memiliki hutang kepadanya.

Mas Akas mengangguk, dan baru sekarang aku menyadari betapa menawan senyumannya. Saking menawannya, aku bahkan lupa bertanya darimana ia tahu alamatku. Walaupun sedetik kemudian aku merutuki diri. Gak terpikirkan kalau lelaki kurus (agak kerontang) yang tinggal di sebelah merupakan kenalannya.

Merasa canggung karena gak tahu harus mengucap apa lagi, aku cuma melihat ke kanan dan kiri untuk mencairkan suasana. Lalu satu pertanyaan muncul dalam benakku. "Oh ya, Mas, kok bisa Mas Akas yang jemput aku? Emangnya Mas Jae kemana?"

"Ah, itu, mas bilang ke Jae mau ke Bandung hari ini. Tau-taunya anak itu minta tolong jemput kamu di kantor. Gak tahu tuh, dia kemana," jelasnya yang membuatku mengangguk-angguk. Palingan urusan kerjaan. Setahuku, Mas Jae memang tengah sibuk-sibuknya karena tergabung dalam projek pembangunan perumahan elit sebagai salah satu arsitektur.

"Duh, sekali lagi maaf ya mas udah nunggu lama. Lain kali mas bisa chat atau apa gitu, biar aku langsung turun,"

Dalam hati lagi-lagi aku merutuki diri. Lain kali mas bisa chat. Lain kali. Kesannya seakan-akan aku berharap Mas Akas akan menjemputku lagi.

Lelaki itu hanya sedikit mengangguk sebagai balasan, gak mengatakan sepatah kata pun. Melihat keheningan yang terjadi lagi, aku berencana mengucapkan selamat tinggal. "Kalau gitu, mas, aku masuk dulu ya. Makasih, sekali lagi," ucapku padanya yang sedang menunduk.

Baru saja hendak berbalik, tanganku dicegat. "Tunggu, Res, mas mau ngomong sesuatu," tahannya padaku, kemudian tanganku dilepas. Wajahnya tampak kebingungan. Sebagai orang bingung pada umumnya, ia sesekali menggaruk pelipisnya yang kuyakin sama sekali gak gatal.

Begitu mata kami bertabrakan, disaat itu ia mulai bersuara. "Mas tahu, kamu dan Jaedrian memang udah dekat dari dulu. Kalian sering pergi kemana-mana bareng, dia seperti kakak bagi kamu." Ia mengambil jeda, lalu menyambung.

"Tapi kalau mas boleh tahu, misalnya, mas menggantikan posisi Jaedrian. Apa kamu keberatan?" []

full of love,
skylarbblue.

PRELUDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang