🌿10🌿

447 80 3
                                    

Bertahun-tahun lalu ketika masih remaja, makhluk bernama Althaf Raidan—alias Bang Raid, abangku satu-satunya—berhasil menyabet penghargaan sebagai manusia paling nyebelin di seluruh penjuru rumah. Aku yang paling banyak berkontribusi dalam pemberian penghargaan itu, sebagai korban yang sukses dibuatnya kesal tiap harinya.

Begitu pulang sekolah, hidupku gak pernah damai.

Bang Raid terlalu malas keluar rumah selain untuk kebutuhan belajar atau darurat sebelum matahari terbenam, ditambah lagi, gak begitu jauh dari rumah ada toserba yang isinya hampir seperti sebuah supermarket. Kalau kedua info itu digabungkan—ditambah aku yang pulang sekolah jam tiga siang, tahu apa hasilnya 'kan?

Aku selalu jadi pesuruh dadakannya Bang Raid untuk membeli sesuatu di toserba setelah ia mengatakan kalimat saktinya; I'm your bro.

Setiap kali bilang begitu, maka aku akan membalas menantang. "Iya, tahu. Kalau aku, adeknya abang," dan yang selanjutnya terjadi, Bang Raid akan kembali mengatakan kalimat yang sama dengan makna berbeda. Yang kedua kalinya ini lebih terasa seperti; kamu adek saya, jadi saya bebas nyuruh-nyuruh. Kemudian, semua aksi diatas akan berujung pada kekalahanku dan kehadiranku di toserba. Pokoknya kalau melawan dia, aku gak pernah bisa menang.

"Des, beliin abang cukuran!"

"Sampo abang habis, beliin dong!"

"Beliin abang rokok, dong. Lumayan tuh kalau mau olahraga,"

Nah, kalau opsi terakhir sih aku oke-oke aja. Karena Bang Raid pasti memperbolehkan aku membeli beberapa cemilan sebagai asupan tutup mulut. Soalnya, rokok benar-benar tidak diperbolehkan dalam keluarga kami—untungnya ia sempat ketahuan Ayah sebelum kuliah (bukan karenaku pastinya), jadi Bang Raid sudah berhenti merokok sejak saat itu.

Melihat kilas balik sewaktu aku dan Bang Raid masih remaja tanggung yang berkutat dengan dunia pendidikan, aku sedikit-tidaknya mengerti apa saja hal-hal yang akan seorang lelaki beli jika berada dalam sebuah supermarket. Kalau begini ceritanya, bagaimana aku gak kaget setelah tahu belanjaan Mas Akas yang terselip dalam belanjaanku merupakan dua susu kotak rasa coklat—yang sialnya juga minuman favoritku?!

Hampir aku berpikir kalau aku kelebihan mengambil dua kotak sehingga hasilnya ada lima. Ternyata, dua lagi berasal dari lelaki ini.

"Udah ketemu?" teriaknya dari luar, masih belum kubiarkan masuk.

"Susu coklat? Dua kotak?" Aku masih aja gak percaya kalau lelaki sepertinya menyukai minuman sejenis ini.

"Aneh ya kalau saya suka minum itu?" tanyanya lagi dari balik pintu apartemen yang masih kututup rapat-rapat. Duh, aku ingin mengatakan 'iya' atas pertanyaannya. Masalahnya... aku pun suka.

Tapi, ya, untuk apa juga aku harus pikir panjang tentang itu. Setelah mengedikkan bahu dan bermasa bodoh, aku lekas menuju pintu untuk memberikan barang-barangnya. Namun pintu apartemen gak sepenuhnya aku buka, mungkin hanya kurang dari sejengkal karena aku pun gak berniat melihat eksistensinya lagi. Jadi begitu suara bukaan kunci terdengar, aku segera menyodorkan dua kotak susu itu keluar.

"Ini,"

Beberapa sekon terlewati dan dia tidak mengatakan apa-apa juga tidak melakukan apa-apa. Tanganku setia terangkat di udara, masih terisi oleh dua buah susu kotak yang belum disentuhnya.

"Mas Akas? Ini," ulangku lagi dengan pandangan menatap tembok. Enggan melihat keluar.

Aku merasakan beban yang kuangkut ditanganku berkurang setengah. Ia hanya mengambil satu dari dua buah susu kotak disana, membuatku bersiap buka suara untuk mengingatkannya lagi.

PRELUDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang