🌿02🌿

576 94 1
                                    

Sudah seminggu berlalu sejak pertemuanku dengan Mas Akas yang aneh dan gak jelas itu. Aku yang awalnya biasa saja, jadi merasa takut sendiri jika melihat notifikasi whatsapp darinya. Aku menahan diri untuk tidak menekan aplikasi yang satu itu agar terhindar dari online, tapi ujung-ujungnya, aku jadi susah dihubungi orang sehingga aku menyerah.

Dihari pertama, aku malas setengah mati membalas pesan-pesannya. Ia biasanya bertanya tentang hal yang berhubungan dengan Mas Jae, Mas Abi, dan SMA kami dulu, namun sesekali pertanyaannya keluar dari topik yang telah kusebutkan—bertanya tentang diriku, misalnya.

Seperti sekarang contohnya. Aku dikirimi beberapa pesan, padahal ini baru jam enam pagi. Dicamkan. JAM ENAM PAGI.

Mas Bassist
Res, ada jadwal apa hari ini?

Aku terpaksa harus membalas karena sudah terlanjur membacanya.

Adresia
Palingan ngantor doang
Memangnya kenapa mas?

Tanpa menunggu lama, aku langsung mendapat balasan.

Mas Bassist
Pulang jam berapa?

Adresia
Jam empat sore
Kadang-kadang ngaret juga
Kenapa mas?

Aku juga tidak tahu, sih, mengapa aku harus menjelaskan jadwal pulang kerjaku serinci-rincinya.

Mas Bassist
Oke

Aku hanya bisa mendelik melihat balasannya. Apa yang dimaksud Mas Akas dengan 'oke'? Kenapa juga setiap kutanya 'kenapa' malah tidak pernah dibalas? Apa Mas Akas memang seaneh ini sejak lahir?

Duh, bisa pecah juga otakku lama-lama memikirkan Mas Akas yang sangat-sangat tidak jelas.

"Lihat hape mulu, buk," sindir Refa, adikku. Jangan heran. Kalau kami berdua sudah saling adu mulut, ibuk-ibukan memang sering terjadi. Apalagi kalau diatas meja makan, pasti Kak Rena akan turun tangan jadi pelerai.

"Banyak omong, ya, nenek lampir," ketusku mematikan ponsel. Padahal umur kami terpaut tujuh tahun, aku juga bingung kenapa kami terlampau sering berkelahi seperti ini. Tapi aku senang. Seperti ada kebahagiaan tersendiri jika membuatnya kesal.

"Udah, udah, kalian ini kalau ketemu pasti bawaannya berantem. Kamu juga Resa, udah besar, umur juga udah siap nikah, masih aja berantem sama adiknya." Omelan Bunda jadi sarapan rutinku tiap harinya. Namanya juga kakak, pasti jadi pihak yang selalu disalahkan. Pokoknya adik selalu benar!

Eh, tunggu, tunggu. Bunda bilang apa tadi? 'Umur siap nikah'? Baru saja Kak Rena tunangan, sekarang aku yang jadi sasaran untuk pertanyaan-pertanyaan seputar kapan nikah dan kawan-kawannya? Umurku masih muda, loh, Bun. "Kok ada kata-kata umur siap nikah, sih, Bun? Aku mah nikahnya nanti-nanti aja,"

"Memangnya kenapa? Belum ada calon? Sini, Bunda kenalin sama anak temen Bunda," cerocos Bunda membalasku.

"Gak usah, Bun, ada kok." ucapku bohong. Semua orang juga tahu kalau aku tidak pernah berpacaran dan jarang sekali dekat dengan lelaki-kecualikan Mas Jae, karena kami sudah bagaikan saudara tidak sedarah. Bahaya kalau aku mengiyakan Bunda, yang tadinya bercanda bisa jadi betulan dengan ibuku itu.

"Jodohin aja, Bun, daripada Resa jadi perawan tua," sela Kak Rena mengikuti pemikiran Bunda. Tidak adik, tidak kakak, sama-sama bikin emosi. Untung Ayah, Bang Raid, dan Kak Cila tidak ikut-ikutan—atau belum. Dan setelahnya, yang terjadi adalah aku yang menggerutu menentang perkataannya.

PRELUDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang