[special] Suatu Malam Di Sebelas Tahun Lalu

452 68 2
                                    

2 0 0 8

"Bun, aku males!" Resa yang masih berumur tiga-belas tahun mendengus sebal pada sang Bunda, juga pada Raid diseberang yang menjulurkan lidah dengan ekspresi mengejek. "Kan abang yang seharusnya pergi, kok malah aku?"

"Abangmu itu keseleo, gak mungkin Bunda bawa pincang-pincang begitu 'kan?" sang ibu menyahut, membuat Resa jadi keki setengah mati dan menatap murka kepada sosok si pincang-pincang yang duduk dengan anteng diatas sofa.

"Bang Raid bohong, Bun, kakinya gak keseleo!"

"Iya, gak keseleo. Cuma keplekok dikit aja," Raid tidak mau kalah.

"Bun, mulutnya mulai ngeselin berarti udah gak sakit lagi!"

"Yang sakit 'kan kaki, neng, apa hubungannya sama mulut?"

Kalau murka ada tingkatan, mungkin tingkat kemurkaan Adresia Syakira sudah melebihi level tertinggi sekarang ini.

Hari ini adalah minggu, waktunya Resa berleha-leha melepas penat setelah hari-hari sebelumnya berjuang bangun pagi untuk berangkat sekolah. Khusus untuk minggu, ia paling benci yang namanya kegiatan diluar rumah. Pokoknya, hari libur harus digunakan untuk istirahat. Titik. Terlepas dari kehadiran makhluk jahil yang bakalan membuatnya jengkel setengah mati, Resa bisa berubah jadi anak rumahan khusus dihari itu.

Makanya putri kedua Keluarga Abbasy itu menahan jengkel mati-matian saat Bunda mengeluarkan dekrit perintah agar ia menemani sang ibu malam nanti. Katanya, sih, Bunda akan menghadiri acara reuni angkatan SMA-nya dulu. Parahnya lagi, Raid adalah oknum yang dari jauh-jauh hari sudah dipilih Bunda untuk menemani beliau. Tapi karena tadi pagi Raid jatuh dari sepeda dan kakinya keseleo, Resa harus bersedia menggantikan posisi abangnya.

Kenapa bukan Rena?

"Rena mau ngerjain tugas, sekalian jagain Refa,"

Begitu jawaban Bunda. Berhubung Resa juga jarang-jarang bisa terbebas dari status babysitter dadakannya Refa, adik perempuannya yang baru berumur lima tahun, tadinya Resa mau-mau aja. Apalagi ia tidak punya alasan kuat seperti pekerjaan rumah yang belum selesai atau tugas sekolah lainnya untuk mendukung argumen, jadi setengah mau dan setengah tidak, Resa berakhir didepan lemari untuk memilih pakaian yang akan dipakai nanti.

"Abang hutang budi sama aku," Resa melayangkan tatapan sengit, menukik dingin pada sang abang yang duduk nyaman diatas sofa dengan kaki kanan penuh balsem sembari menonton tayangan Ronaldowati di televisi.

"Dih, hutang budi apaan?" Raid setengah berteriak, tidak terima.

"Pokoknya, hutang budi." Resa masih bertahan dengan tatapan dinginnya dan lengan kanan yang sedang menenteng sepatu. Rencananya ingin meneruskan sesi tatap-tatapan itu sebelum suara Bunda yang menyuruhnya lekas memakai sepatu memenuhi seluruh penjuru rumah.

"Abang doain ketemu jodoh disana, Res!" pekik Raid bercanda ketika adik keduanya itu sudah menghilang dibalik pintu.

Padahal Raid cuma bercanda. Tapi...

➖✳➖

"Ngantuk, Bun,"

Entah berapa kali Resa menutup mulutnya karena terus-terusan menguap. Padahal belum dua-puluh menit sejak kedatangan mereka ke acara reuni yang digelar di sebuah ballroom hotel itu, Resa sudah merasa dia butuh kasur secepatnya. Mungkin efek teman-teman sekolah bundanya hampir tidak ada yang membawa serta anak-anak mereka (untuk bagian ini, Resa sempat marah besar karena Bunda malah memaksanya pergi). Jadi ya situasi saat ini, dia dikelilingi para orangtua.

PRELUDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang