🌿26🌿

222 19 3
                                    

"Waduh, waduh. Udah jam pulang nih. Tadi dianterin, sekarang bakalan dijemput nggak ya?"

Karena tadi pagi Fajar nggak sengaja melihatku keluar dari mobil Mas Akas, aku harus terima diledekin terus-terusan. Dia tahu mobil itu hampir nggak pernah mengantarku sebelumnya dan yang lebih parah lagi, Fajar sempat melihat Mas Akas sekilas—nggak cukup membuatnya mengingat bagaimana wajah Mas Akas, namun cukup untuk membuat Fajar tahu kalau yang mengantarku itu bukan Bang Raid ataupun Mas Jae (selaku dua oknum yang paling sering aku jadikan tebengan selain transportasi online). Apalagi aku ini orangnya nggak bisa bohong dan Fajar tipe-tipe yang akan mengorek info sampai kerak bumi sekalipun kalau sudah kepo.

"Aduh, sore-sore gini enaknya dijemput ayang ya, Jar. Tapi yang nggak punya kayak lo gimana tuh?" Alma menimpali.

"Dih, gue punya ya! Elo kali!"

"Halah, apanya yang punya kalo nggak dianggap! Kita tuh sama-sama nggak punya tau, Jar. Nggak kayak..."

Fajar dan Alma kompak melihatku dengan tatapan menjengkelkan.

"...Mbak Resa."

Duh, sepertinya candaan ini bakalan tahan hingga minggu depan. Sepertinya aku nggak punya pilihan lain kecuali bersabar.

Sejujurnya tadi pagi, tebengan Mas Akas yang bikin aku selamat sampai di kantor nggak ada artinya karena aku lupa kalau hari ini kami bekerja diluar. Mana lumayan jauh lagi. Nggak mungkin 'kan aku panggil Mas Akas untuk balik ke kantor dan mengantarku kesana—ini sih nggak mungkin banget ya. Tapi syukurnya, nggak tahu apa aku harus bersyukur juga sih, ada Fajar yang bisa aku tebengi karena dia singgah ke kantor untuk mengambil laptopnya yang ketinggalan tadi malam. Yang juga menjadi alasan kenapa dia menjadi saksi aku diantar Mas Akas.

Dan sekarang aku jadi bingung.

Mas Akas 'kan bilang mau menjemputku, tapi kalau menjemput dari sini kayaknya kejauhan deh? Apa aku ke kantor dulu aja?

"Serius nih, nanti dijemput 'kan? Yakali udah dianter tapi nggak dijemput," Alma menyenggol bahuku dengan sengaja.

Fajar langsung bersiap-siap buka mulut. "Atau mau ditebengin ke kantor lagi, Mbak Resa? Soalnya 'kan tadi diantarnya ke kantor, Ma, jadi dijemputnya juga dari situ!"

"Boleh tuh! Sekalian anterin gue pulang ya, Jar, nggak jauh kok."

"Idih, kok jadi nganterin elo?!"

Aku berharap mereka berdua berjodoh dimasa depan.

"Jadinya gimana nih, Mbak Resa, dijemput nggak?" tanya Fajar lagi yang bikin aku menggeplak mulutnya tanpa belas kasihan.

"Iya, dijemput. Dijemput abang-abang gojek. Kenapa?!" balasku ketus dan sekali lagi dia buka mulut, sepertinya aku nggak akan segan-segan melaporkan dia ke ibu bos supaya Fajar keluar dari pemasaran dan diangkat menjadi asisten beliau.

Agar dia terjerat atasanku yang cerewet dan banyak mau itu sampai-sampai ingin resign.

Buat yang pengen tahu, hari ini kami kebagian tugas viewing atau menemani calon klien melakukan survey ke beberapa cluster perumahan. Tinggal satu klien lagi dan malah terlambat datang. Tapi terhitung sudah hampir satu jam, masih belum ada kabar dari si klien itu.

"Buset dah, sepuluh menit lagi masih nggak ada kabar kita caw aja lah ya."

"Enak aja caw-caw. Jangan aneh-aneh lu Jar, gue lagi nggak mood dimarahin bu bos." Alma menimpali sehabis menyeruput sesendok kuah baksonya.

Ini saking bosannya menunggu klien yang masih nggak ada kejelasan, kami sampai minta tolong pada pegawai disini untuk dipesankan bakso.

"Sepuluh menit kayaknya kecepatan, apa tiga puluh menit aja?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 28, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PRELUDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang