"Udah lebih dari dua-puluh menit. Situ maghrib-an apa taraweh sih,"
Sesekali aku menggerutu sebal karena Mas Akas yang belum juga selesai dengan urusannya pada Tuhan, bahkan setelah aku mandi cebur-cebur dan bersiap menyiapkan makan malam.
Bukan maksudnya aku ingin makan dengannya ya, ngapain juga aku begitu kalau ada puluhan warung makan diluar sana yang membutuhkan pelanggan? Aku cuma gak mau aja makan terlalu malam, nantinya tambah gemuk dan dijaman ini menurunkan berat badan itu lumayan susah. Mulai memasak setelah dia pergi juga rasanya lebih leluasa aja.
Duh, jangan sampai Mas Akas malah ke-geer-an aku memasak untuk kami berdua.
"Loh, pas banget saya lagi laper." katanya entah muncul dari mana dilengkapi penampilan masih bersarung.
Tuh 'kan, si sinting ini malah ke-geer-an. Kalau aku mengumpat dalam hati, kira-kira berdosa gak ya?
"Enggak mas, aku masak untuk diri sendiri." ujarku membuat gestur menghentikannya duduk di pantry, sekaligus menghentikan imajinasi tentang aku memasak untuknya itu. "Mas habis ini langsung keluar 'kan? Katanya tadi gitu loh kalau aku gak salah dengar."
Dengan segenap hati aku berharap Mas Akas akan segera bangkit dan pergi tanpa perlu diingatkan lagi. Namun ditengah situasi dimana kemenangan bisa saja diperuntukkan padaku, perutnya malah berbunyi keras. Mas Akas segera menggaruk tengkuknya bingung, "Tanggung loh, Res. Sekalian. Lagian kamu ingat 'kan belanjaan supermarket kemarin itu saya yang bayar. Hitung-hitung balas budi,"
"Aku gak minta dibayar, dan gak merasa punya hutang budi juga,"
"Terus gimana cara kamu bayar balik uang saya?"
"Aku 'kan udah bilang, aku gak pernah minta dibayarin. Untuk apa dibayar balik?"
Dalam keadaan normal, biasanya aku akan berusaha terlihat seramah mungkin kepada orang asing yang gak begitu dikenal—misalnya mencoba senyum tiap saat, merespon basa-basinya meski sekedar haha-hehe doang. Tetapi di kasus ini, aku gak merasa jika Mas Akas perlu mendapat keramah-tamahanku. Dia bukan orang asing. Lebih tepatnya orang asing yang mencoba mengakrabkan diri melalui cara tidak wajar.
"Bukan gitu cara menghargai kebaikan orang. Kamu segitu bencinya ya sama saya?" tanyanya diiringi senyuman, benar-benar bukan pertanyaan yang tepat untuk dilontarkan sambil tersenyum.
Kalian pasti tahu ini, saat dimana kita menyesali apa yang baru saja kita katakan dalam beberapa detik kemudian. Itu terjadi padaku sekarang. Perkataanku barusan... enggak menyakiti hatinya 'kan? Takutnya dia beneran merasa aku terlalu membencinya—padahal memang begitu nyatanya. Terkadang aku pun kurang mengerti diri sendiri. Padahal aku membencinya, namun selalu mengupayakan agar tutur kata dan perlakuanku tidak akan menunjukkan dengan gamblang seberapa banyak aku membencinya.
Atmosfir mendadak berubah. Kami saling tatap-tatapan hingga akhirnya aku mengerjap dan menyambung konversasi.
"Iya, udah jelas 'kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
PRELUDE
RomanceKetika pulang kerumah pukul sebelas malam, Adresia Syakira secara mendadak diberitakan orang rumah bahwa dia telah dilamar lelaki bernama Rhakas Nugraha--si senior semasa SMA yang berusaha mendekatinya beberapa minggu belakangan ini. Kakaknya bilang...