🌿15🌿

466 77 4
                                    

"Mas Akas, mau duel makan ayam gepuk level 200 tanpa minum?"

"..."

"..."

IH AKU NGOMONG APA SIH!!!

"Heh, makan samyang aja bibirnya jontor mau kamu ngajakin ayam gepuk level 200. Tanpa minum lagi!" sela oknum berinisial J ditengah-tengah situasi aku sedang mencerna mengapa manusia berseragam putih dengan empat garis berwarna emas pada pundaknya ini membohongiku soal pekerjaannya.

Maksudnya, hei, pilot itu 'kan bukan pekerjaan yang haram, ilegal, terlarang ataupun sebagainya—keren malahan kalau boleh jujur. Terus kenapa harus berpura-pura bilang supir? Katanya berniat serius denganku, tetapi masalah sepele begini aja mengapa sampai ditutupi segala sih? Aku 'kan jadi terlihat seperti orang bodoh dihadapan Mas Jae sejak tadi malam!

"Y-yaudah, nggak usah!"

Aku berucap lugas dan berbalik untuk meninggalkan mereka berdua. Entah kemana aku akan pergi, yang penting nggak ketemu Mas Akas dulu!

"Heh, mau kemana..." gerutu Mas Jae yang samar-samar bisa kudengar.

Kemungkinan besar, sekarang Mas Jae sedang diam-diam mengejarku dari belakang sana. Lalu langkahku akan dicegat, dan sesaat lagi dia pasti bertanya-tanya kena—

Grep!!

Tuh 'kan, ada yang menahan tanganku.

Dengan kesal aku meniup sejumput rambut yang jatuh disalah satu sisi dahi, "Kenapa sih mas? Aku pengen pergi sendirian aj—A?!"

Jantungku serasa mau merosot kebawah ketika mengetahui bukan Mas Jae yang berada dibalik punggungku, melainkan makhluk satunya. Spontan aku menepis tangannya dari lenganku. Ya ampun, nggak bisa ya aku lepas darinya untuk kali ini aja? Kalau begini aku harus gimana?!

Namun sepertinya Mas Akas tidak mengkhawatirkan apa-apa sebab dalam tiga detik dia segera berucap disertai nada tegas, "Resa, kamu ikut saya aja." sebelum menoleh pada lidi berjalan yang berdiri tak jauh dari kami.

Mas Jae yang mengerti langsung mengangguk patuh. "Hmm, kelihatannya ini waktunya saya untuk menjadi cacing planaria alias memisahkan diri. Lo nyimpen mobil di bandara 'kan, Kas? Kalo gitu gue mau ketemu temen dulu, monggo dilanjut." katanya dan berangsur pergi tanpa menjelaskan sepatah kata padaku.

Aku jadi heran, kenapa sih temennya tersebar diseluruh pelosok negeri?! Lihat nih, aku ditinggal bersama siapa.

"Ayo," Mas Akas menarik ujung lengan bajuku setelah punggung Mas Jae tampak sekecil kerikil.

Belum juga bilang apa-apa udah aya-ayo aja, keluh kesahku dalam hati. Mohon maaf nih, tetapi bagaimana caranya bisa kabur dari situasi ini?

Untuk kedua kalinya aku menepis tangan Mas Akas. "Apaan. Aku mau pergi sendiri aja, toh bukan anak kecil lagi juga."

"Resa,"

"Jangan ikutin,"

"Resa," panggilnya lagi yang aku kurang suka, karena nadanya terdengar seperti ayah yang mencoba menasihati anaknya sedangkan aku adalah putri pembangkang. "Kemanapun kamu pergi nantinya, biar saya yang antar. Untuk sekarang ikut saya dulu,"

Sumpah, kalau bukan karena kami masih berada di pekarangan bandara dan sedari tadi banyak penumpang, flight attendant maupun yang berseragam serupa dengan Mas Akas wara-wiri dimana-mana—dan tidak menutup kemungkinan mereka mengenal Mas Akas, aku menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal aneh pada si sinting ini. Dipikir-pikir, kasihan juga 'kan jika nantinya Mas Akas jadi topik hangat di kalangan rekan kerjanya.

PRELUDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang