🌿22🌿

408 58 6
                                    

"Jangan di grogotin mulu, ih."

"Enak euy. Gratis jadi makin enak,"

Ternyata kedatangannya nggak lebih sebagai bala bantuan.

Beda dari anak bungsu Mami Viona yang lebih tertarik menggerogoti makanan gratis tersebut sambil menonton Opera Van Java di televisi, aku mengerucutkan bibir. Nggak tahu kenapa malah kepikiran Mas Akas terus. Setelah dia cerita sedikit soal rekan kerjanya yang beramai-ramai mengunjungi mall—dan nggak sengaja mengklarifikasi kenapa dia berduaan dengan Mbak Salya—aku jadi merasa jahat banget. Bisa-bisanya berpikiran buruk seperti itu padanya disaat selama ini Mas Akas selalu memperlakukan aku dengan sangat-sangat baik.

Meskipun yah, nggak menutup kemungkinan kalau lelaki sepertinya punya... ehm... lebih dari satu wanita.

... tapi aku juga nggak bisa memukul rata semua laki-laki didunia 'kan?!

"Kok cemberut gitu mukanya?" Mas Jae santai bertanya, masih dengan mulut menggembung karena terisi banyak potongan roti. Membuatnya malah kelihatan seperti remaja tanggung dibanding pria dewasa yang akan segera menginjak umur dua-puluh delapan.

Aku menunduk dalam, makin mengundang penasaran dari Mas Jae yang rela menelan semua isi mulutnya dalam sekali percobaan.

"Kenapa sih? Kenapa? Kepikiran apa?" tanyanya yang masih kudiamkan hingga dia menyeletuk. "Kepikiran Akas pasti 'kan?"

"... nggak... yah... iya sih tapi... nggak..."

Mas Jae bergidik. "Lapo kon?"

"..."

Pakai ditanya segala. Aku harus jawab kalau sudah begini?!

"Jadi, kepikiran Akas atau nggak? Jawabnya yang jelas atuh."

Dengan berat hati aku membalas. "... iya."

Kelihatannya Mas Jae memang sudah menebak jawabanku. Dia geleng-geleng nggak habis pikir, lanjut mengambil satu potong pizza. "Pasti dia nggak ngabarin mau ke Bandung 'kan? Udah, nggak perlu dipikirin. Kali aja dia kelupaan. Tau-tau udah kelihatan aja wujudnya di supermarket tadi,"

Sebentar—

"Mas juga sempat ngelihat dia?"

"He'eh,"

"Kok nggak bilang-bilang?!"

Mas Jae mengarahkan dagunya ke wajahku. "Muka kamu keburu nggak enak dilihat."

"... emang kelihatan banget ya?"

Aku langsung menutup muka begitu Mas Jae mengangguk tanpa ragu. Kenapa dia bilang wajahku keburu nggak enak dilihat sih? Emang seburuk itu ya? Perasaan aku nggak kesel-kesel amat tadi. Sedikit doang, jujur. Itupun sebatas karena Mas Akas kelihatan berdua dengan perempuan lain disaat posisinya sudah melamarku. Sebatas itu!

"Udah, ih. Jangan dipikirin lagi. Makin sepet tuh mukanya,"

Setelah berkata begitu, dengan luwesnya dia melanjut aktivitas makan-makan. Sedangkan aku sudah setengah stres memikirkan teman SMA-nya yang bernama Rhakas Nugraha.

"Mas Jae,"

"Hm."

"Aku nggak yakin,"

"Nggak yakin apa?"

"Nggak yakin sama..." dan dia jadi makin penasaran. "... sama temen satu band mas itu... dan diriku sendiri. Mendingan aku tolak final lamarannya sekarang aja kali ya?"

Tidak jauh dari tebakanku, Mas Jae melotot seakan-akan bola matanya hendak terlepas keluar. "Bukannya kamu bilang mau lihat dulu setahun kedepan gimana? Lah, ini kok mau langsung ambil keputusannya aja?"

PRELUDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang