🌿06🌿

432 90 5
                                    

"KAMU NOLAK AKAS?" teriak Mas Jae yang mau gak mau membuatku harus menutup mulutnya, mencekik lehernya dengan lengan kiriku karena tangan kananku sedang membekap bibirnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"KAMU NOLAK AKAS?" teriak Mas Jae yang mau gak mau membuatku harus menutup mulutnya, mencekik lehernya dengan lengan kiriku karena tangan kananku sedang membekap bibirnya. Setelah berhari-hari, baru kali ini aku sempat menceritakan perihal itu kepada Mas Jae.

"Ih, mas, malu dilihat orang!" Aku lekas melihat keadaan sekitar. Oke, gak ada yang menatap aneh kami berdua. Untungnya suasana kedai nasi goreng Pak Wawan sedang sepi.

Mas Jae menjauhkan tanganku darinya, "Res, are you serious?"

Aku memutar bola mata, "Kalau udah cerita sama mas gini, kira-kira aku bohong apa enggak?"

Begitu mendengar penjelasanku, Mas Jae langsung mendesah kecewa sambil menatapku penuh dengki. Aku balik menatapnya tajam, tahu betul kalau makhluk itu pasti marah karena dia pendukung nomor satu atas kelanjutan hubunganku dengan Mas Akas.

"Kok ditolak, sih? Cepet banget, baru juga kedip. Akas itu cowok baik-baik loh. Kerjaannya bagus, keuangannya stabil, gajinya banyak, pinter, lulusan ITB, baik, sopan, anaknya taat sama agama, apalagi ya... Oh, satu lagi, dia juga ganteng. But underline this, masih gantengan Jaedrian Tamawijaya,"

Baru saja mau menegur; semua kebaikan Mas Akas selama hidupnya aja terus sekalian sebutin, aku lagi-lagi menghela napas karena manusia itu ujung-ujungnya malah menyombongkan diri. Aku gak menyangkal kalau Mas Jae itu ganteng sih. Tapi, ya, kalau dibandingkan Mas Akas... Sepertinya aku lebih memilih opsi kedua. Karena udah bertahun-tahun aku lihat muka Mas Jae melulu!

"Masih gantengan Bang Gama," balasku asal, kebetulan ingatan tentang salah satu sohib Mas Jae dan Mas Akas itu muncul sesaat. Maaf, Bang, namanya aku pakai sebentar.

Tapi reaksi yang kudapat dari Mas Jae malah ingin membuatku menendangnya jauh-jauh. Ia menutup mulut dengan kedua mata terbuka lebar, layaknya seorang istri yang gak percaya telah diselingkuhi suaminya. "J-jadi, kamu nolak Akas karena suka sama Ga—"

"Ih, mas! Aku cuma becanda, loh! Lagian, aku sadar diri masih cantikkan Kak Keisha kemana-mana," ucapku membandingkan diri dengan pacarnya Bang Gama, perempuan anggun yang kebetulan juga salah satu kakak tingkatku di kampus dulu.

"Iya, sih, Keisha cantik banget," Ia mendadak terdiam dengan netra tak tentu arah, sepertinya sedang membayangkan wajah orang yang disebutnya cantik barusan. Seketika aku ingin berteriak lagi; heh, pacar temen sendiri itu!

"Tapi kamu juga cantik, Res, jangan minder. Makanya Akas suka," sambungnya, dan aku makin jengkel melihat ekspresi wajah Mas Jae yang dibuat-buat saat mengatakan 'makanya Akas suka'. Siapapun, tolong tahan tanganku supaya gak melempar gulungan tisu ini ke wajahnya.

Berdetik-detik kami saling adu pandang—aku memandangnya murka sedangkan pandangannya masih sama jengkelnya seperti tadi, Mas Jae buka suara. "Jadi, kamu beneran gak mau sama Akas atau gimana? Dia udah dari SMA suka sama kamu, loh, masa baru seminggu didekatin udah mau nolak aja,"

PRELUDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang