🌿24🌿

241 33 8
                                    

Dulu, belum lama-lama banget sih, aku pernah bertanya pada Kak Rena tentang apa yang membuat dia yakin untuk menerima tunangannya sebagai suami. Katanya, dia kepikiran Mas Ajun terus. Nggak pagi, siang, malam, Kak Rena selalu ingin tahu apa yang sedang dilakukannya. Mas Ajun sudah makan atau belum, sudah sampai rumah atau belum, sudah tidur atau belum. Kak Rena ingin tahu semuanya.

Tetapi yah, menjunjung tinggi posisinya sebagai perempuan, dia agak gengsi menanyakan kegiatan Mas Ajun terus-terusan. Dan karena tunangannya pun tergolong orang yang jarang memberi update soal kegiatannya kecuali hendak keluar, Kak Rena berujung menganggap tunangannya itu kurang peka dan sebagainya—padahal dia juga nggak melakukan hal yang sama. Akhirnya ketika mas tunangan melamarnya disaat kakak nggak kepikiran bakalan nikah dalam waktu dekat, Kak Rena nggak mau membuang waktu untuk mikir segala. Kalau tinggal disatu rumah yang sama, maka semua ke-ingin tahu-annya bisa terbayarka

Memang absurd, tapi itu salah satu alasannya menikah selain menjalankan sunah.

Jadi sekarang, aku ingin tahu, rasa penasaranku tentang Mas Akas sedang apa saat ini apakah termasuk konteks yang sama seperti yang Kak Rena rasakan? Karena sejak kami berpisah di hari lamaran kakakku beberapa hari lalu, dia belum pernah menghubungiku lagi.

Apa ini karena aku terkesan menolak tawaran Mas Akas untuk bertemu orangtuanya, ya?

Duh, sebenarnya aku mau-mau aja sih, tapi... mengingat bagaimana caraku kabur dari anak mereka dulu, aku malu banget! Anak mereka yang spesifikasinya tergolong bagus banget untuk ukuran calon suami idaman, malah ditolak mentah-mentah oleh aku yang biasa aja ini sampai kabur dari rumah segala. Membayangkan reaksi kedua orangtua Mas Akas ketika tahu anaknya rela membuang-buang waktu hanya untuk membawaku pulang saja—terlebih lagi dia pernah menangkup muntahanku menggunakan kedua telapak tangannya (untuk yang ini, aku betulan ingin menghapusnya dari ingatanku!!!)—aku jadi nggak punya muka untuk menghadap mereka.

Apa aku bersikap bodoh amat aja dan terima tawarannya, ya?

Toh kalaupun ternyata aku nggak direstui, bukannya menjadi masalah besar bagiku, justru Mas Akas yang mungkin bakalan nggak karuan.

Bukannya sudah mulai naksir padanya, sih, hanya saja Mas Akas selalu mengupayakan untuk mendatangiku disela-sela kesibukannya. Sedangkan aku nggak melakukan apa-apa.

...eh tetapi sehabis aku pikir-pikir ulang, bukannya dia yang melamar?

Kenapa aku yang harus berusaha?

Bener juga.

"Bawa bekal nggak?" Alma mencondongkan kepala, berusaha menjangkau sisi mejaku yang nggak terlihat karena sekat diantara meja kami.

"Nggak sempat bikin tadi pagi. Kenapa?"

Alma kelihatan agak kecewa, mungkin karena soal icip-menyicip masakanku, dia bakalan maju paling depan. "Lo nggak kelihatan mau makan siang soalnya. Orang-orang udah pada turun, tuh."

Aku melihat ke sekitar dan, yah, memang sudah kosong. Kecuali Fajar yang dari dulu memang nggak klop dengan pegawai laki-laki lainnya di lantai ini sehingga memilih menempel terus pada kami.

"Hayuk, Ibu Alma dan Mbak Resa."

"Kok cuma gue dipanggil ibu?!"

PRELUDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang