🌿04🌿

503 91 2
                                    

Sudah tiga jam berlalu sejak aku bertemu Mas Akas, namun kalimat yang diutarakannya sewaktu mengantarku itu masih terbayang hingga sekarang. Kira-kira, maksudnya berkata begitu apa ya? Kenapa gelagat anehnya membuatku jadi semakin penasaran? Kenapa aku sangat ingin tahu?

Mas Akas itu memang pantas digelarai manusia teraneh, buktinya seperti tadi. Setelah berkata soal menggantikan peran Mas Jae, kami sama-sama terdiam. Aku hanya bengong melihat wajahnya, pikiranku melayang entah dimana. Namun oleh Mas Akas, keheningan itu ditandai sebagai penolakan. Padahal otakku hanya belum sempat merangkai kata untuk memberi jawaban kala itu.

Lalu, tahu apa yang dikatakannya? "Ah, saya ngomong apa sih barusan. Lupain aja Res. Mas pulang dulu, ya, kamu masuk rumah terus." Dan mobilnya makin lama menghilang dari pandangan.

Aku melempar ponsel ke ranjang, lalu merebahkan diri setelah terduduk selama berjam-jam menyelesaikan pekerjaan yang kubawa pulang. Ada satu notif masuk di ponselku. Panjang umur, orang yang sejak tadi kupikirkan mengirim chat.

Mas Bassist
Res, besok mas antar kerja bisa?

Lah, dia yang mau antar kok aku yang ditanya bisa atau tidak? Bukan seharusnya aku yang berta—oh ya, dia 'kan sudah kucap aneh.

Adresia
Boleh-boleh aja kok mas
Siapa yang bilang gak boleh

Niatku sebenarnya mau berbohong akan diantar Bang Raid besok, tapi, tidak enak rasanya berbohong dengan orang yang mau berbuat kebaikan. Karena besok juga sepertinya aku tidak bisa minta nebeng Mas Jae, orangnya masih sibuk. Chat-ku saja belum dibalas.

Mas Bassist
Mungkin kamu udah janjian berangkat sama yang lain
Sama Jae, misalnya

Ini kok, kesannya seperti aku terlalu mengandalkan Mas Jae sebagai tukang ojek pribadi ya? Memang iya, sih, tapi itu dulu. Waktu aku SMA. Masa-masa masih belum berani naik angkutan umum sendirian. Kalau sekarang sih, semua pun dihajar asal bisa sampai di kantor lebih cepat.

Adresia
Mas Jae itu opsi terakhir kalau gak tahu mau berangkat sama siapa haha

'Haha'nya kelihatan maksa gak, ya?

Mas Bassist
Besok harus mas jemput jam berapa?

Adresia
Biasanya aku berangkat jam tujuh
Tapi kalau mau ngaret juga gak apa-apa mas, yang penting jam delapan udah di kantor

Aku melihat-lihat lagi kalimat terakhir yang kukirim ke Mas Akas. Tidak terlihat aneh, 'kan? Tapi kenapa menurutku aneh, ya? Kenapa aku menjawab serinci-rincinya? Padahal aku cukup mengatakan 'jam tujuh aja mas' daripada menggunakan kalimat panjang seperti itu.

Sembari menunggu balasan, aku men-scroll ruang obrolan bersama Mas Akas. Sekedar melihat-lihat apa saja yang telah kami bicarakan sejak lelaki itu menyuruhku menyimpan nomornya. Belum terlalu banyak, mungkin karena baru terhitung seminggu sejak kami saling bertukar pesan. Lalu jariku berhenti pada percakapan kami tadi pagi.

Aku baru teringat kalau tadi pagi Mas Akas menanya jam pulang kerjaku, dan tadi sore tahu-tahunya dia sudah menjemputku. Aku yang terlalu gede rasa, atau memang kedua hal itu berhubungan?

Yaudah 'lah, mari kita ber-masa bodoh aja. Suka-suka Mas Akas mau berbuat apa.

Daripada menunggunya yang tidak kunjung membalas, aku beralih membuka ruang obrolan bersama Mas Jae. Pesanku sudah dibaca, belum dibalas, tapi dia sedang online. Jadi aku memutuskan mengirimkannya pesan baru.

PRELUDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang