Gadis itu bersikap cukup aneh malam ini.
Ah, tidak.
Mungkin bisa kita ganti dengan kata aneh menjadi istimewa, agar terdengar lebih baik.
Tunggu ... jangan berpikiran yang aneh-aneh.
Mikasa tetaplah Mikasa yang biasanya. Berwajah datar tanpa ekspresi juga hemat bicara. Bahkan ketika Levi mengajaknya bicara pun hanya dibalas sekedarnya, seperti sebelum-sebelumnya.
Nah, yang cukup berbeda di malam ini adalah dia menawarkan untuk membantu Levi membuat makan malam padahal biasanya dia hanya membiarkan Levi berkutat di dapur memasak sendirian tanpa menghiraukannya lalu menunggu Levi memanggilnya untuk makan malam.
Bisa dibilang cukup tidak tahu diri memang Mikasa karena bersikap seperti itu, tapi jujur saja, dia gadis yang bahkan menyisir rambutnya sendiri saja tak bisa apalagi berurusan dengan peralatan memasak. Jangan lupakan kalau dia adalah gadis yang dijadikan senjata perang oleh Hizuru dan lagi masa kecilnya sebagian besar dihabiskan tanpa orang tua.
“Caramu memegang pisau itu salah, Mikasa.” Levi menunjukan Mikasa cara memegang pisau yang benar. Gadis itu memegangnya dengan terbalik menjadikan Levi khawatir kalau yang diirisnya nanti adalah kulit dagingnya sendiri dan bukan sayuran yang diminta Levi untuk dipotong oleh Mikasa.
“Maaf,” sahut Mikasa pelan. Dia menuruti cara Levi memegang pisau.
Mikasa agak kebingungan. Padahal dia cukup ahli dalam memegang pedang, mengapa dia justru melakukan kesalahan saat memegang sebuah pisau?
Mengabaikan saja kebingungannya, dia mengambil sayuran yang sudah dicuci oleh Levi sebelumnya dan meletakannya di atas talenan. Diperhatikannya sayur hijau yang ada di depannya, dari atas ke bawah, ke depan dan belakang, sesekali dibalik-baliknya. Dia sedang berpikir, bagaimana dia seharusnya memotong benda hijau tersebut.
Memotong sayur tentu berbeda dengan memotong tengkuk leher raksasa seperti di teater yang ditontonnya kemarin, bukan? Dan pastinya juga berbeda dengan cara memotong hal lainnya seperti yang telah diajarkan pada Mikasa saat ia masih di Hizuru. Jadi dia tak tahu menahu tentang bagaimana caranya memotong sayuran tersebut.
“Lihat aku,” instruksi Levi melihat Mikasa yang terlihat kebingungan tersebut. Sebenarnya cukup menyenangkan baginya melihat raut wajah Mikasa yang sedang berpikir keras tersebut, tapi karena perut mereka takkan menunggu sampai Mikasa mendapatkan ilham tentang cara memotong dengan benar maka Levi memutuskan untuk mengajarinya.
Levi mencontohkan bagaimana cara memotong sayur tersebut. Mikasa yang masih agak canggung mencoba meniru cara Levi. Meski potongannya tidak serapi Levi, perlahan dia mulai terbiasa dan mulai menikmati kegiatan memotong sayurnya hingga tanpa sadar ia justru mengiris jarinya sendiri.
“Aww,” ringis Mikasa merasakan sakit di jarinya.
Mendengar suara ringisan Mikasa, Levi menoleh cepat. Cukup terkejut ketika melihat ada darah yang mengalir di jari telunjuk Mikasa.
Dengan cepat, Levi meraih tangan Mikasa, menuntunnya duduk di salah satu kursi yang ada di ruang makan lalu membantu gadis itu membersihkan lukanya.
“Kau tak apa?” tanya Levi khawatir. Memang ini hanya luka kecil saja, mungkin besok juga sudah sembuh. Hanya saja ia cukup khawatir karena gadis itu bahkan ketika ikut ke Marley kemarin sama sekali tidak mendapat luka seberkaspun dan sekarang dia justru terluka karena membantu Levi memasak di dapur.
“Aku tidak apa-apa,” sahut Mikasa pelan.
Setelah pendarahannya terhenti, Levi menyuruh Mikasa untuk menunggu ia menyelesaikan memasaknya. Karena tak ingin lagi mengganggu kegiatan Levi memasak, Mikasa pun menurutinya. Meskipun begitu, ia merasa cukup kecewa pada dirinya karena tidak bisa membantu Levi hingga selesai dan hanya mengganggu Levi saja jadinya.
Sekitar dua puluh menit kemudian, Levi selesai memasak. Ia menyajikan masakannya ke atas meja makan dan bahkan tidak lupa membuatkan satu gelas coklat hangat untuk Mikasa.
“Bagaimana? Apakah masih sakit?” tanya Levi.
Mikasa menggeleng, ini hanya luka kecil takkan terasa sakit. Ia pernah mengalami luka yang jauh lebih parah dari ini jadi luka seperti ini bukanlah masalah.
Jika ada yang ingin Mikasa permasalahkan adalah dirinya yang terasa sama sekali tak berguna ini. Dia ingin melakukan sesuatu untuk Levi akan tetapi ketika ia melakukannya justru Levi lah yang membantunya. Mikasa merasa dirinya sangat menyedihkan.
Sebelumnya dia memang tahu kalau dirinya sudah amat menyedihkan. Tapi kali ini ia merasa dirinya amat sangat menyedihkan.
“Terimakasih untuk makanannya,” ucap Mikasa ketika menyelesaikan kegiatan makannya. Mereka makan dalam senyap. Tak ada yang membuka obrolan. Biasanya juga begitu.
Levi juga sudah menyelesaikan kegiatan makannya. Dia pun segera merapikan bekas peralatan makan tersebut dan membersihkannya sendirian sementara Mikasa sudah pergi keluar dari ruang makan karena merasa dirinya takkan membantu jika tetap berada disana.
Setelah selesai mencuci piring, Levi menghampiri Mikasa yang sedang duduk di sofa tempat biasa ia duduk sambil memperhatikan dinding. Dia memberikan gelas berisi coklat hangat yang tak dihabiskan Mikasa tadi. Mikasa menyambutnya, mengucapkan terimakasih dengan perlahan.
“Apakah ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?” tanya Levi merasa kalau suasana hati gadis itu berubah dengan sangat cepat.
Mikasa menggeleng sebagai jawaban tapi Levi tahu kalau perempuan kerapkali berbohong saat ditanya apa ada sesuatu yang mengganggunya. Levi pun memutuskan duduk di sebelah Mikasa.
“Bagaimana, kau suka makanannya tadi?”
“Ya, aku suka,” jawab Mikasa.
“Kau ingin membantu lagi?”
“Tidak.”
“Benarkah? Padahal aku ingin meminta bantuanmu lagi,” ucap Levi membuat Mikasa menoleh.
“Benarkah?” tanyanya memastikan dan Levi mengangguk sebagai jawaban.
Mikasa merasa senang karena Levi ingin meminta bantuannya lagi, tapi di satu sisi dia merasa takkan membantu apa-apa membuatnya merasa tidak percaya diri untuk membantu Levi yang sudah pandai memasak.
“Aku ... tidak yakin bisa membantumu,” ucap Mikasa akhirnya setelah cukup lama ia bergulat dengan pikirannya.
Pandangannya turun ke bawah. Ia mulai memikirkan bagaimana jika Levi meminta bantuan wanita kemarin yang mereka temui di festival kemarin untuk memasak. Mikasa yakin kalau wanita itu pasti akan lebih bisa membantu dibandingkan dirinya yang hanya sekedar mengganggu.
“Tidak masalah,” balas Levi. “Bahkan niatmu untuk membantuku itu saja sudah membuatku sangat senang. Jadi jangan pikirkan banyak hal dan cepat habiskan minumanmu lalu pergi tidur.” Di akhir, Levi mengusap rambut Mikasa pelan sembari tersenyum hangat yang menjadikan perasaan Mikasa turut menghangat.
Mikasa merasa lebih baik hanya dengan sedikit sentuhan dipuncak kepalanya dari Levi.
“Terimakasih,” lirih Mikasa pelan. Levi mengangguk kemudian di berdiri hendak beranjak untuk pergi ke kamarnya tapi tangan Mikasa menahan telapak tangan Levi. Entah dapat keberanian dari mana Mikasa untuk melakukannya.
Levi memperhatikan wajah Mikasa, menunggu gadis itu untuk menjelaskan apa yang sedang dilakukannya.
“Levi,” panggil Mikasa lirih tanpa menoleh ke arah objek bicaranya.
Ia sangat jarang memanggil nama Levi membuat pria itu sedikit berdebar saat mendengarnya.
“Bisakah ... aku tinggal bersamamu lebih lama?”
Mendengar suara Mikasa serta memperhatikan ekspresinya saat mengungkapkan keinginannya tersebut membuat jantung Levi berdebar. Dia merasa seolah ada yang mendorongnya untuk segera mengatakan jawabannya.
Lalu dengan sebuah anggukan Levi memberikan jawabannya. “Kau boleh tinggal selama yang kau mau bersamaku.”
Jawaban Levi tersebut membuat perasaan Mikasa menghangat dan sebuah senyuman merekah dari bibirnya. Jika saja Levi tak mengendalikan dirinya, mungkin saja ia akan kembali mencium gadis di depannya itu karena senyum cantiknya itu mulai membuatnya kehilangan akal sehatnya.
🖤🖤🖤
Published: 23 Agustus 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
The Girl Who Standing in the Dark (Tamat)
FanfictionMikasa melarikan diri dari Hizuru lalu menjadi tawanan di Paradis. Secara khusus, dia dijaga oleh Levi Ackerman yang merupakan pria terkuat dari Pasukan Pengintai. "Apakah kau akan melarikan diri?" - Levi "Tidak, aku tidak akan melarikan diri." - Mi...