Dua Puluh Enam | Pengungkapan

534 89 27
                                    

Semua serangan Midori sudah dilucuti oleh dua orang di depannya sekarang ini. Termasuk tembakan sebelumnya yang sengaja ia simpan di akhir hanya ketika dirinya yakin kalau lawannya sudah lengah. Tapi ternyata dirinya yang salah. Ia sudah tak memiliki rencana ataupun serangan kejutan apapun lagi.

Dengan satu pedang yang bertengger disebelah lehernya juga seseorang yang dalam posisi bebas menyerang kapan saja di hadapannya dan ditambah lagi yang ada di belakang punggungnya hanyalah udara kosong dimana bagian samping atap kereta tak memiliki penghalang apapun sehingga jika ia bergerak dengan gegabah ia hanya akan jatuh ke bawah dengan kecepatan yang tinggi tentunya, ia tak bisa melakukan apa-apa lagi.

Karena menyadari situasinya, Midori memutuskan untuk bicara saja. Mengeluarkan pertanyaan yang beberapa waktu ini menjadi momok di dalam kepalanya.

“Mikasa, kenapa kau memilih untuk pergi?”

Meskipun dirinya senang dengan kepergian Mikasa, Midori tidak dapat memungkiri kalau dirinya ingin tahu tentang alasan dibalik pilihan Mikasa tersebut.

Akan tetapi, pertanyaan yang lolos dari bibir Midori itu justru membuat bingung Mikasa. Dalam kepala Mikasa muncul pertanyaan, mengapa?

Mengapa Midori menanyakan hal itu kepadanya padahal jika ditanya kembali, bukankah Midori sendiri juga menginginkan Mikasa untuk pergi? Jadi mengapa dia harus repot-repot menanyakan hal itu.

Mikasa yang tidak diharapkan keberadaannya di Hizuru telah memilih jalannya dan menyingkir dari tempat tersebut. Dan sekarang, Midori justru bertanya kenapa dirinya memilih untuk pergi?

Katakan, apakah ini sebuah lelucon karena jika iya, maka lelucon ini sama sekali tidak lucu bagi Mikasa.

“Akashi niisama sangat ... menyayangimu. Benar-benar menyayangimu.” Midori melanjutkan kata-katanya, yang sangat ingin ditahan olehnya agar tidak pernah keluar dari mulutnya sebab jika dia mengucapkannya itu sama saja artinya dengan dirinya mengakuinya.

“Tidak,” balas Mikasa menolak apa yang baru saja dikatakan oleh Midori. “Kalian ... tidak ada ... yang menyayangiku,” lanjutnya menyangkal meski sambil terbata. Ia tidak merasa kalau ada yang menyayanginya, ia merasa Akashi tidak menyayanginya.

Dia hanyalah anak kecil yang kesepian. Sangat kesepian. Setelah ditinggal oleh orangtuanya, lalu ditinggalkan oleh orang-orang yang pernah mengasihinya. Karena itu jika mereka mengatakan kalau Akashi ataupun yang lainnya menyayangi dirinya, Mikasa merasa tak bisa mempercayainya.

Jangan bercanda!

Bagaimana bisa Mikasa untuk mempercayai orang-orang yang sudah meninggalkannya?

Tapi, mengapa senyum pahit Midori di depannya itu membuat keyakinan Mikasa serasa goyah?

Senyum pahit itu sangat mengganggu!

Dia tidak ingin mempercayainya bahkan jika Midori mengatakan kalau Akashi melakukan semua itu untuk Mikasa, dia takkan mau mempercayainya.

“Bohong, kalian semua berbohong. Kalian tidak pernah menyayangiku,” lirih Mikasa melanjutkan setelah tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Midori sejak ia menyatakan kalau Akashi menyayangi Mikasa. Tangannya sedikit gemetar walau tidak tertangkap oleh mata Midori yang saat itu hanya fokus menatap Mikasa yang meragukan kata-katanya.

Lalu diantara percakapan antara dua saudara tersebut yakni Midori dan Mikasa, dengan tenang mendengarkan apa yang dibicarakan mereka berdua, Levi teringat kembali percakapan terakhirnya dengan Akashi saat di luar kastil di malam penyerangan markas komunikasi Marley waktu itu.

“Karena aku mencintainya, tolong jaga dia untukku. Dia gadis yang mudah kesepian.”

Dia benar-benar kesepian, pikir Levi.

The Girl Who Standing in the Dark (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang