Sebelas | Masa Lalu

648 118 24
                                    

Keluarga di Hizuru kebanyakan tidak mengizinkan anggota keluarganya untuk menikah dengan orang yang tidak sederajat dengan mereka. Pernikahan seperti itu merupakan sebuah cela, aib bagi mereka.

Dan hal demikian juga berlaku dilingkungan kerajaan.

Pernikahan dengan kaum bangsawan saja untuk keluarga kerajaan sangat diatur dengan ketat aturannya tak boleh sembarangan bahkan tak jarang untuk ditolak, tidak diizinkan untuk menikah. Lalu bagaimana jika keluarga kerajaan menikah dengan hanya seorang rakyat jelata, terlebih jika ia miskin dan tak punya apa-apa. Jelas sekali akan di tolak.

Cinta?

Huh? Apakah cinta itu lebih penting daripada harta juga tahta? Apakah cinta sebegitu lebih bernilainya dibandingkan dua yang lainnya?

Tidak, tidak, tidak.

Bagi keluarga kerajaan Hizuru, cinta sama sekali tak penting. Cinta hanyalah nafsu sesaat yang dapat dengan mudahnya lenyap dibandingkan dengan harta dan tahta mereka. karena itu, cinta bukanlah apa-apa jika harus disandingkan dengan milik mereka.

Berpikirlah dengan rasional, begitu kata mereka.

Dan ibu Mikasa terlibat dalam sistem seperti itu.

Sebagai seseorang yang terlahir dari bagian keluarga kerajaan, ia harusnya mengikuti aturan menyedihkan yang sudah turun temurun dijalankan oleh keluarganya itu.

Sayangnya wanita itu justru jatuh ke dalam hal yang dianggap sangat tabu oleh keluarganya, yakni jatuh cinta, terlebih pada seseorang yang bahkan sama sekali tidak sederajat dengan mereka. Hanya rakyat biasa, berbeda negara pula.

Hizuru dan Paradis.

Dari dua negara yang saling bertentangan itu, justru melahirkan sebuah cinta terlarang yang kemudian menjadikan keduanya tak diterima dengan tangan terbuka dimana pun.

Paradis tak mau lagi menerima ayah Mikasa karena dia di cap sebagai pengkhianat. Membocorkan rahasia militer Paradis ke Hizuru lalu menikah dengan seseorang disana.

Sedang Hizuru, meskipun menerima Ayah dan Ibu Mikasa, mereka harus menanggung risiko dikucilkan disana. Dan yang terparah, anak gadis mereka setelah kepergian mereka berdua diperlakukan sebagai alat oleh keluarga kerajaan tanpa ia diberikan hak untuk menolak.

🖤🖤🖤

Umur Mikasa saat itu lima tahun.

Dia hanyalah gadis kecil dengan wajah menggemaskan yang membuat siapapun ingin mencubitinya karena terlampau gemas. Rambut hitam panjang senada malam itu membuat orang tidak tahan untuk tidak mengacak-acaknya. Membuatnya berantakan.

Gadis kecil itu sedang bermain-main bersama ibunya di kamar kecil milik mereka yang letaknya masih berada disekitaran lingkungan istana.

“Ibu, apakah Ayah akan segera kembali?” tanya Mikasa menyadari hari sudah semakin sore namun ayahnya sudah cukup lama tidak pulang ke rumah kecil yang ditempati mereka tersebut.

Wanita itu tersenyum sendu, mengusap pelan rambut Mikasa yang panjangnya sudah menyentuh bahu tersebut. “Ayah tidak pulang hari ini,” jawab Ibu Mikasa.

“Kenapa? Ayah semalam juga tidak pulang,” keluh Mikasa.

“Ayah sedang bekerja, Mikasa.”

Hanya jawaban itu yang bisa ia berikan kepada Mikasa kala itu. Gadis itu masih belum cukup mengerti tentang konsep kematian membuatnya tak bisa menjelaskan kalau ayah yang ditunggu-tunggu kepulangannya itu sudah meninggal.

Setengah tahun yang lalu, Ibu Mikasa mendapat kabar kalau suaminya yang bermarga Ackerman itu mengalami kecelakaan lalu meninggal dunia. Entah ini sebuah intrik atau semacamnya, apapun itu, Ibu Mikasa takkan bisa membuktikannya. Ia tak bisa membuktikannya.

The Girl Who Standing in the Dark (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang