Dua Puluh Lima | Mereka Bertiga

496 83 38
                                    

"Apakah kau sudah merasa menang?" Midori yang sebenarnya tidak berkutik itu bertanya dengan lirih. Suaranya terdengar parau.

Perlahan bibir Midori mengukir lengkungan tajam serupa dengan matanya yang menatap mata Mikasa dalam. Beberapa saat kemudian tatapannya beralih pada Levi yang menunjukan ekspresi lega karena Mikasa berhasil memojokan dirinya. Dan terakhir, matanya turun untuk melihat darah yang masih mengalir dari permukaan tangan Mikasa sebelum ia kembali lagi untuk menatap matanya.

"Apakah kau tahu betapa menderitanya aku karenamu? Huh?" Midori kembali bertanya. "Setiap hari, setiap malam, setiap waktu yang aku lalui dalam hidupku penuh penderitaan karenamu! Aku membencimu! Sangat membencimu! AKU INGIN KAU LENYAP DARI HIDUPKU SELAMANYA!" Teriakan Midori yang parau melengking di akhir.

Meski tahu nyawanya sedang di ujung tanduk, dia tak mencoba mencari pengampunan malah dia sangat serius saat mengatakan kalau ia ingin Mikasa lenyap dari hidupnya.

Terlebih lagi, ketika ia melihat sorot wajah Mikasa di depannya yang dirasa Midori seperti sedang mengasihaninya itu membuat Midori benar-benar ingin membunuhnya sekarang juga.

Satu tangan Midori masih bebas.

Dengan satu gerakan yang cepat, tanpa aba-aba, dari balik lengan kimononya dia mengeluarkan sebuah pistol dan menarik pelatuknya menembakan peluru ke arah Levi yang masih setia di tempatnya.

Walau kejadian itu terjadi begitu cepat dengan kedua bola mata Mikasa terbuka lebar saat menyaksikannya. Namun Mikasa merasa seperti ada efek slow motion disaat melihat peluru yang baru ditembakan itu meluncur bebas melaluinya.

Bergerak.

Bergerak.

Bergerak.

Mikasa menginstruksikan pada dirinya tapi otaknya seperti memegang penuh kendali atas tubuhnya membuat dia tak bisa menggerakkan anggota badannya barang satu mili pun. Bahkan dia tak mampu menggerakan bibir untuk mengucap walau satu patah kata apapun untuk memperingatkan Levi.

Dia hanya diam di tempatnya menyaksikan sebentar lagi peluru itu akan mengenai Levi.

Ayo bergerak.

Bergerak.

Bergerak sebelum Levi terkena tembakan!

Dengan putus asa karena tak mampu melakukan apapun ditengah situasi badannya yang terkunci, Mikasa hanya dapat memejamkan kedua matanya.

Peluru yang meluncur dengan kecepatan tinggi itu mustahil untuk ditepis. Di dalam diri Mikasa sendiri, dia ragu dapat menghentikan peluru yang sudah melewatinya tersebut.

"Levi, maafkan aku."

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

"Kenapa kau minta maaf, Mikasa?"

Dengan segera Mikasa membuka kelopak matanya. Takjub melihat Levi berdiri disebelahnya dengan ekspresi santai berbanding terbalik dengan Mikasa juga Midori yang syok mendapati Levi berdiri di sebelah mereka yang mengartikan kalau dia berhasil lolos dari tembakan peluru barusan.

"A-apakah kau ... baik-baik saja?" tanya Mikasa gagap dan sedikit terputus, merasa tak percaya dengan penglihatannya saat ini dia bahkan mengerjap dua kali untuk memastikan kalau disebelahnya itu benar-benar adalah Levi dan bukan sekedar ilusinya semata.

Levi mengangguk-angguk beberapa kali. "Ya, aku baik-baik saja."

"Tapi tadi-"

"Apakah kau meragukan kemampuanku sebagai kapten?" tanyanya setengah bercanda, sangat tidak tepat dengan situasi. Namun bibirnya yang melengkungkan senyuman langka itu menyiratkan sesuatu sekaligus memberikan efek tenang dalam dada Mikasa.

The Girl Who Standing in the Dark (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang