Delapan Belas | Maaf

608 116 58
                                    

Apa lagi hal yang lebih mengerikan dibanding tinggal seatap dengan seorang kapten seperti Levi yang sedang dalam kondisi mood buruk?

Para anggota tim Levi tidak ada yang bisa membayangkannya!

Ketika makan malam suasananya begitu canggung, bahkan udara disana terasa begitu sesak karena dua orang yang biasanya begitu dekat tiba-tiba tidak saling menyapa. Ahh, bukan. Bukannya Levi tidak berusaha menyapa, hanya saja Mikasa terus membuang muka membuat Levi kehilangan kesempatan untuk menyapa.

Waktu menunjukan pukul sepuluh.

Semua orang disana sudah berada di kamarnya masing-masing. Lebih cepat daripada biasanya memang karena mungkin mereka tidak begitu tahan dengan suasana yang tak mengenakan di barak mereka saat ini sehingga memutuskan untuk pergi tidur lebih awal. Menghindari dari kemungkinan terjebak dalam situasi yang lebih canggung lagi.

Dari pintu kamar Mikasa terdengar suara ketukan beberapa kali. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Levi Ackerman.

“Mikasa, bisa kita bicara sebentar?” Levi berkata dari balik pintu luar. Intonasi suaranya cukup pelan agar tidak mengganggu yang lainnya.

Awalnya, Levi kira ia harus membujuk Mikasa beberapa kali agar gadis itu bersedia tapi ternyata hanya dengan sekali saja Mikasa sudah membuka pintu kamarnya.

Pintu kamar Mikasa terbuka lebar. Matanya menatap sayu pada Levi yang sedang diam ditempatnya karena tak menyangka bahwa Mikasa akan secepat itu membukakan pintu untuknya.

“Masuklah,” melalui ekor matanya, Mikasa mempersilakan Levi untuk masuk ke kamarnya.

Levi meneguk ludah. Meskipun ia sudah tinggal bersama Mikasa beberapa bulan, tidak pernah sekalipun ia masuk ke dalam kamar gadis itu. lalu sekarang dengan mudahnya Mikasa membiarkannya masuk kesana. Apakah gadis itu tidak ada takut-takutnya kalau dia tiba-tiba menyerangnya?

“Disini saja,” tawar Levi. Ia merasa ragu untuk masuk ke dalam kamar Mikasa.

“Tidak, yang lain akan terganggu nanti. Masuklah,” kukuh Mikasa. Tak bisa menolak akhirnya Levi pun menurut masuk ke dalam kamar Mikasa.

Levi berdiri membelakangi Mikasa yang duduk di pinggir ranjang itu sembari memandang keluar.

“Apakah tidak dingin? Biar aku tutup jendelanya.” Levi berinisiatif untuk menutup jendela kamar Mikasa yang masih terbuka itu. Akan tetapi Mikasa dengan cepat mencegatnya, “jangan, bulan sedang purnama malam ini,” katanya.

Kedua alis Levi bertaut, dia pun memandang keluar menatap langit malam bertabur bintang. Memang benar, sedang bulan purnama.

“Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?” tanya Mikasa membuka obrolan mereka malam ini.

Levi berbalik, mengambil kursi yang ada di depan sebuah meja lalu duduk disana menghadap Mikasa.

“Mikasa ....” Levi mengangkat wajahnya agar ia dapat melihat wajah Mikasa, “maafkan aku.”

Mendengar permintaan maaf dari Levi membuat napas Mikasa tercekat. Ia tidak bermaksud membuat pria itu meminta maaf padanya, malah justru ia yang ingin meminta maaf karena tiba-tiba saja bersikap aneh dan marah padanya. Ia sama sekali tidak menginginkan Levi meminta maaf padanya karena ini bukan kesalahannya.

Gadis itu sudah merenungkannya sebelumnya.

“Tidak, akulah yang harusnya minta maaf. Maafkan aku,” lirih Mikasa. Dia menundukan pandangannya tak berani memandang Levi.

Dia harusnya tak marah tadi. Memang apa salahnya Levi untuk tak memberitahunya tentang namanya jika Mikasa sendiri masih banyak berahasia dengannya?

“Ku rasa kita berdua sama-sama meminta maaf kalau begitu,” sebuah senyum tersungging di bibir Levi meski masih terasa agak canggung.

The Girl Who Standing in the Dark (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang