Dua | Tamu Tak Diundang

1.2K 208 65
                                    

Memilih pakaian untuk dipakai perempuan itu ternyata cukup lama. Mungkin tidak akan terlalu lama kalau hanya Mikasa dan Levi saja yang memilihnya. Namun karena ada Hange, proses dalam memilih pakaian untuk dikenakan Mikasa sehari-hari menjadi sangat lama.

Wanita itu memang dengan sangat cepat memilih-milih pakaian lalu dicocokannya pada Mikasa. Tapi, jika dirasanya pakaian itu tidak cocok, ia akan melemparkan pakaian tersebut dan tidak membiarkan Mikasa untuk mengenakannya.

Belum lagi perlengkapan lainnya yang dipilihkan oleh Hange selain pakaian yang dirasa Hange akan diperlukan oleh Mikasa (walau sebagian besar Mikasa sebenarnya tidak memerlukannya dia bahkan tidak menginginkannya).

Hange melirik ke arah Mikasa. Lebih tepatnya ia memperhatikan ke arah rambut hitam panjang legam yang berantakan itu. Sepertinya ada yang harus ia lakukan dengan rambut Mikasa setelah kembali nanti.

Setelah dirasa cukup, mereka kembali ke rumah Levi.

Hange memanggil Mikasa dan meminta gadis itu untuk duduk didepannya sementara ia sudah siap dengan perlengkapan menggunting rambut.

“Oi, Hange. Apa yang ingin kau lakukan?” tanya Levi.

“Merapikan rambutnya, tentu saja,” jawab Hange.

Levi melebarkan matanya. “Jangan memotong rambutnya sembarangan.”

“Kau tidak lihat rambutnya berantakan seperti ini, huh? Atau kau mau menyisirinya setiap hari?”

Levi terdiam. Ia menatap ke arah Mikasa yang sama sekali tidak berekspresi.

“Nee~ Mikasa, tidak apa jika rambutmu ku potong, kan?” Hange bertanya.

Mikasa tidak menyahut. Tapi matanya melirik ke arah Levi seperti ingin mengatakan sesuatu.

Menyadari tatapan Mikasa, Levi pun berucap,  "sepertinya dia keberatan kau memotong rambutnya, Hange. Jangan lakukan,” tegas Levi.

Mendengar jawaban Levi, Hange mengerucutkan bibirnya. Ia pun mengalah. Diambilnya sisir lalu ia menyisir dengan perlahan rambut kusut Mikasa.

“Padahal dia bukan anakmu, tapi kau sangat perhatian padanya. Dia sudah cukup besar Levi.”

“Dimataku dia masih anak-anak.”

Yang benar saja?! Walau bagaimanapun, usia Mikasa saat ini sudah menginjak sembilan belas tahun tapi ia masih dianggap anak-anak oleh Levi. Pantas saja pria itu cukup hati-hati dalam memperlakukan Mikasa.

Hange menghela napas. Tatapannya terlihat kosong sesaat. “Terserah kau saja,” katanya seusai mengikat rambut Mikasa.

“Kau sepertinya sudah cocok menjadi ibu, Hange.”

Hange terkekeh pelan. “Jika aku menjadi ibu, aku akan meninggalkan medan perang dan fokus merawat anakku.”

🖤🖤🖤

Rumah kembali senyap setelah Hange memutuskan untuk kembali ke markas Pasukan Pengintai. Hanya tersisa Levi dan Mikasa sekarang berdua dengan Mikasa yang kembali menatap keluar jendela. Memperhatikan tembok tinggi yang menjulang jauh didepan sana.

Tembok yang menjadi pembatas antara dunia ini dengan dunia luar.

Tembok yang dianggap sebagai perlindungan dari Tuhan untuk Pulau Paradis.

Omong kosong.

“Apa yang kau perhatikan?” Levi meletakan dua gelas yang ada ditangannya ke atas meja.

Mikasa tidak menoleh ke arah Levi, tapi ia menjawab dengan suara yang pelan, “dinding.”

“Dinding itu tingginya sekitar lima puluh meter, kau tidak akan bisa memanjat nya,” canda Levi seraya memberikan secangkir coklat hangat pada Mikasa.

The Girl Who Standing in the Dark (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang