[Lukisan Jingga di Angkasa]
.
.
.
.
..
.
.
.
.Rigel tampak serius memandangi layar setelah pengambilan scene yang ia lakukan dengan lawan mainnya. Alisnya bertaut, meniti setiap inci wajahnya sendiri. Ia memperhatikan mimik yang ia buat, mendengar kata-kata yang ia ucapkan. Wajahnya sudah menunjukkan bahwa ia siap memberikan kritik terhadap aktingnya sendiri.
“Pak Sutradara?” panggil Rigel, sambil memandang sutradara yang duduk tak jauh darinya, yang juga baru selesai memeriksa hasil pengambilan scene. Sang sutradara mengangguk beberapa kali sambil merapatkan bibir.
“Pakai potongan yang ini saja. Memuaskan kok. Pengucapanmu tidak ada yang salah.” Ujar sang sutradara.
Rigel mengangguk setuju. “Aku juga sudah puas dengan yang ini. Tidak perlu pengambilan ulang karena aku ingin izin beristirahat. Ada berapa kali take lagi?”
“Sudah habis. Setelah ini, kamu boleh pulang.”
Rigel mengangguk mengerti, lalu melangkah menuju mobil, diikuti oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan muda di belakangnya. Sang laki-laki sibuk memperhatikan ponsel, sementara si perempuan kelimpungan mengikuti langkah lebar Rigel karena ia sedang mengelap keringat di dahi aktor tampan itu.
“Aku saja, Tan. Kamu bisa tinggal sodorkan tisunya saja. Tidak perlu mengelapnya kalau tidak sampai.” Ujar Rigel sambil tersenyum tipis. Tania terkekeh malu. Ia hanya berusaha melakukan yang terbaik sebagai seorang asisten. Memang tubuh Rigel tinggi sekali, sedangkan Tania hanya sebatas bahu Rigel saja, bahkan lebih rendah sedikit. Tangannya harus ia panjangkan maksimal untuk bisa menyeka peluh Rigel.
“Rigel, sepertinya anakmu sudah ditemukan.” Perhatian Rigel tercuri dengan pernyataan Deka, manajernya.
“Dapat info dari mana? Sekarang dia ada di mana?”
“Di rumah sakit dengan adikmu. Tadi aku mengecek ponselmu, ternyata ada sepuluh panggilan tidak terjawab dan dua pesan belum dibaca. Pesan itu sudah kubuka dan …”
“Kunci mobil.” Potong Rigel. Deka mengernyit bingung, tapi tangannya tetap merogoh saku celana dan mengeluarkan kunci mobil yang langsung disambar oleh Rigel. Tak lupa, Rigel juga merebut ponselnya yang sedari tadi dipegang oleh Deka.
“Rigel! Kamu masih ada janji dengan produser setelah ini!” Namun Rigel tidak peduli. Ia masuk ke dalam mobil dan melajukannya ke rumah sakit.
Sesampainya di parkiran rumah sakit, Rigel baru saja sadar bahwa ia hampir melakukan kesalahan dengan membawa diri sendiri tanpa pengawalan ke publik. Apalagi untuk menemui putranya. Akhirnya, Rigel terjebak di mobilnya sendiri. Tidak berani keluar meski ia berkeinginan besar untuk mengetahui keadaan Anka.
Menenggelamkan rasa gengsinya, ia menelepon Kennard. Berkali-kali ia menyambungkan panggilan, tapi berkali-kali pula Kennard tidak menjawab. Bahkan panggilannya ditolak. Akhirnya, ia memutuskan untuk menelepon Erin.“Erin, Kennard bersamamu? Anka mana? Kenapa ada di rumah sakit?”
[Anka sudah dibawa pulang oleh Kennard. Tadi malam putramu demam tinggi, tapi tadi pagi sudah membaik.]
KAMU SEDANG MEMBACA
Lukisan Jingga Di Angkasa
General FictionJika Anka harus memilih, tentu ia ingin semua berada di sisinya, tanpa ada yang meninggalkan atau ditinggalkan. Namun Anka tidak pernah diberikan pilihan.